JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Sejak kapan SK Menteri setara dengan sertifikasi? Jawabannya: tidak pernah secara hukum. Polemik keahlian Roy Suryo dalam kasus ijazah Jokowi membuka ruang diskusi tentang otoritas, legalitas, dan etika keilmuan di ruang publik.
Di negeri yang gemar gelar dan jabatan, terkadang kita lupa
membedakan antara pengakuan dan keahlian, antara legalitas dan legitimasi.
Baru-baru ini, publik kembali diguncang oleh polemik lama yang tak kunjung
reda: keaslian ijazah Presiden Joko Widodo. Namun, yang lebih menarik bukan
soal dokumennya, melainkan siapa yang bicara—dan atas dasar apa ia bicara.
Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, kembali
muncul sebagai “pakar telematika” yang mengklaim menemukan kejanggalan teknis
pada ijazah Presiden. Namun publik bertanya: apa dasar keilmuannya? Dan
lebih jauh lagi: apakah SK Menteri bisa dianggap sebagai sertifikasi
keahlian?
Surat Keputusan (SK) Menteri adalah produk hukum
administratif yang dikeluarkan oleh seorang menteri dalam kapasitasnya sebagai
pejabat negara. SK bisa berupa:
- Pengangkatan
jabatan struktural/fungsional
- Penetapan
tim ahli atau staf khusus
- Pemberian
tugas atau mandat tertentu
Namun, SK bukan sertifikat keahlian. Ia tidak melalui
proses uji kompetensi, tidak tunduk pada standar akreditasi profesi, dan tidak
berlaku universal di luar konteks administratif yang ditetapkan. Dasar
hukum: UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Sertifikasi keahlian adalah pengakuan formal atas kompetensi
seseorang di bidang tertentu, yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti:
- BNSP
(Badan Nasional Sertifikasi Profesi)
- Lembaga
akreditasi profesi (misalnya IDI, IAI, PERADI)
- Universitas
atau institusi pendidikan yang diakui
Sertifikasi mensyaratkan proses seleksi, pelatihan, dan uji
kompetensi. Tanpa itu, klaim keahlian hanya sebatas opini pribadi.
Dalam gelar perkara khusus di Polda Metro Jaya, Roy Suryo
membeberkan “analisis teknis” atas ijazah Jokowi, mulai dari pasfoto yang
terlalu tajam hingga logo UGM yang dianggap tidak lazim. Namun, Polda Metro
Jaya telah menyatakan bahwa ijazah tersebut sah dan autentik. Roy Suryo dan
beberapa pihak lain tetap berstatus tersangka atas dugaan penyebaran hoaks.
Pertanyaannya: apakah Roy Suryo berhak menyatakan diri
sebagai ahli forensik digital atau pakar telematika? Jika dasar keahliannya
hanya SK Menteri, maka secara hukum dan etika, klaim itu rapuh.
Di negeri ini, gelar bisa datang dari dua arah: dari ruang
kuliah atau dari ruang rapat kabinet. Yang satu melalui ujian, yang lain
melalui penunjukan. Tapi ketika bicara keahlian, hanya satu yang sah: yang
diuji, bukan yang ditunjuk.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa keahlian bukan sekadar pengakuan,
tapi tanggung jawab. Ketika seseorang bicara sebagai “ahli”, ia harus siap
diuji secara ilmiah, bukan hanya secara politik. Dan masyarakat berhak tahu:
siapa yang benar-benar ahli, dan siapa yang hanya diberi panggung.
Ditulis oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan
Pemerhati Etika Hukum Publik, Dipublikasikan di:
jangkarkeadilan.blogspot.com
#skbukansertifikasi #etikakeilmuan #roysuryovshukum
#ijazahjokowi #advokatbersuara
#edukasihukumpublik #darkalawoffice #shdariusleka
#jangkarkeadilan #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar