JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Surat Terbuka, Seragam Tertutup, dan Hak yang Terlupakan. Di negeri yang katanya Bhineka, seorang anak perempuan berdiri di depan cermin. Seragam sekolahnya kini gamis panjang, jilbab menutup kepala, dan lengan tak lagi menyentuh matahari. Ia bukan muslimah. Tapi sekolahnya bilang: “Ini aturan. Semua harus sama.”
Lalu datanglah suara dari lorong nurani. Gayatri Wedotami, aktivis perempuan dan HAM, mengirim surat terbuka kepada Mendikbud Nadiem Makarim. Ia tak bicara dengan amarah, tapi dengan elegi. Ia menyebutnya “kegilaan tanpa batas dalam hal seragam sekolah.”
Gayatri, atau Syekhah Hefzibah, bukan baru kemarin bicara.
Sejak 2016, ia menerima laporan dari berbagai daerah: Jawa Barat, Lampung, Bengkulu,
Riau, Jawa Tengah. Laporan tentang siswi SD hingga SMA yang dipaksa memakai
busana muslim—meski bukan bersekolah di institusi Islam, dan meski bukan
pemeluk Islam.
Ironisnya, bahkan ayah-ayah muslim pun mulai resah. Putri mereka kehilangan paparan sinar matahari. Baju kurung dan jilbab sejak dini, bukan karena iman, tapi karena aturan yang tak tertulis, tak transparan, dan tak adil.
Seragam seharusnya menyatukan, bukan menyeragamkan
keyakinan. Ketika seragam berubah menjadi gamis wajib, maka ia bukan lagi
simbol pendidikan, tapi senjata penyeragaman. Dan di sinilah hukum harus
bicara.
Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Pasal 28I ayat (2) menegaskan bahwa hak untuk bebas dari diskriminasi
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Maka pertanyaannya: apakah pemaksaan seragam gamis kepada siswi non-muslim bukan bentuk diskriminasi? Apakah negara diam karena seragam dianggap urusan kecil, padahal ia menyentuh tubuh dan keyakinan anak-anak?
Gayatri menutup suratnya dengan dua rekomendasi. Pertama,
jika seragam hanya bisa diwujudkan lewat pemaksaan, maka lebih baik seragam
ditiadakan. Kedua, jika seragam tetap dipertahankan, maka modelnya harus
umum—bukan berbasis agama.
“Ini NKRI, bukan negara dengan asas Islam seperti Malaysia,” tulisnya. Kalimat itu bukan provokasi, tapi pengingat: bahwa Indonesia berdiri di atas pluralisme, bukan homogenitas.
Seragam bukan sekadar kain. Ia adalah narasi negara tentang
siapa yang boleh berbeda dan siapa yang harus tunduk. Ketika seragam menjadi
gamis wajib, maka negara sedang menulis ulang definisi toleransi—tanpa
konsultasi, tanpa empati.
Dan di sinilah pentingnya suara seperti Gayatri. Ia bukan
sekadar aktivis. Ia adalah cermin. Ia mengingatkan kita bahwa hak asasi bukan
barang mewah, tapi pakaian sehari-hari. Yang harus nyaman, adil, dan sesuai
dengan tubuh dan jiwa pemakainya.
“Di negeri yang sibuk dengan kurikulum dan akreditasi, kadang kita lupa bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai, tapi soal nilai-nilai.” (Adv. Darius Leka, S.H.)
#seragamtanpapaksaan #tolakseragamwajibagama #pendidikantanpadiskriminasi #gamisbukanseragamku #jangkarkeadilan #foryou
#fyp #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas
@semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar