JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Aceh dan Papua tidak sepenuhnya tunduk pada KUHP baru 2026 karena keduanya memiliki kekhususan hukum: Aceh dengan hukum syariah berbasis Qanun, dan Papua dengan pengakuan terhadap hukum adat sebagai bagian dari otonomi khusus.
Tanggal 2 Januari 2026 akan menjadi tonggak sejarah hukum pidana Indonesia.
Setelah lebih dari satu abad hidup dalam bayang-bayang Wetboek van Strafrecht,
bangsa ini akhirnya resmi memberlakukan KUHP Nasional—produk hukum anak kandung
republik sendiri. Namun, di tengah gegap gempita reformasi hukum ini, dua
wilayah istimewa tampak berjalan di jalur berbeda: Aceh dan Papua.
Mengapa?
Aceh bukan sekadar provinsi. Ia adalah entitas hukum yang berdiri di atas
fondasi Qanun, hukum syariah yang diakui secara konstitusional melalui
UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam wilayah ini,
pelanggaran seperti khalwat, maisir (judi), dan khamar (minuman keras) tidak
hanya diatur oleh KUHP, tetapi juga oleh Qanun Jinayat.
Dengan diberlakukannya KUHP baru, muncul pertanyaan: apakah Qanun
Jinayat akan tersingkir?
Jawabannya: tidak. Pemerintah pusat telah menegaskan bahwa KUHP
nasional tidak menghapus kekhususan Aceh. Artinya, pelanggaran yang
diatur dalam Qanun tetap berlaku, dan pelaku bisa dikenai sanksi berdasarkan
hukum syariah, seperti cambuk atau denda adat, selama tidak bertentangan dengan
konstitusi dan HAM.
Papua dan Papua Barat, serta provinsi baru hasil pemekaran, memiliki
kekhususan berdasarkan UU Otonomi Khusus Papua (UU Nomor 2 Tahun 2021). Salah
satu prinsip utamanya adalah pengakuan terhadap hukum adat dan lembaga
adat sebagai bagian dari sistem peradilan.
Dalam praktiknya, penyelesaian perkara pidana ringan seperti pencurian
kecil, perkelahian, atau pelanggaran adat lebih sering diselesaikan melalui
mekanisme adat: denda babi, perdamaian kampung, atau ritual adat.
Dengan diberlakukannya KUHP baru, muncul kekhawatiran bahwa pendekatan
restoratif berbasis adat akan terpinggirkan. Namun, nota kesepahaman antara
Kejaksaan Tinggi Papua dan pemerintah daerah menegaskan bahwa KUHP akan
diimplementasikan dengan tetap menghormati hukum adat sebagai bagian dari
keadilan restoratif.
Sebagai Advokat, saya melihat ini bukan sebagai benturan hukum, tapi sebagai
mosaik keadilan. KUHP baru memang berlaku nasional, tapi ia
tidak bisa menghapus kekhususan yang dijamin konstitusi. Justru, tantangan kita
adalah membangun jembatan antara hukum negara dan hukum lokal,
agar keduanya tidak saling menegasikan, tapi saling menguatkan.
Aceh dan Papua adalah cermin bahwa hukum tak bisa dipaksakan seragam di
negeri yang majemuk. KUHP baru adalah langkah maju, tapi ia harus berjalan
berdampingan dengan kearifan lokal. Karena keadilan bukan hanya soal pasal,
tapi juga soal rasa.
*) Catatan Hukum oleh Darius Leka, S.H., M.H. (Pengurus & Anggota DPC
PERADI Suara Advokat Indonesia Jakarta Barat)
#shdariusleka #jangkarkeadilan #kuhp2026 #darkalawoffice #foryou #fyp
#edukasihukum #advokat #peradisai #dpcjakartabarat #hukumadat #qanunaceh
#otonomikhusus #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar