JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Pernyataan Mendagri Tito Karnavian soal bantuan Malaysia untuk Aceh memantik teguran tajam dari eks Menlu Malaysia. Di balik polemik ini, terselip pelajaran hukum dan etika komunikasi yang tak boleh diabaikan.
“Mulutmu harimaumu.”
Pepatah lama ini kembali menggema, bukan dari panggung sandiwara, melainkan
dari panggung diplomasi. Kali ini, sang harimau mengaum dari Jakarta dan
mengguncang Kuala Lumpur.
Dalam sebuah podcast bertajuk Suara Lokal Mengglobal,
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan bahwa bantuan Malaysia untuk
korban banjir di Aceh “tidak seberapa” dibandingkan dengan sumber daya
Indonesia sendiri. Nilainya, katanya, bahkan tak sampai Rp1 miliar. Sebuah
pernyataan yang mungkin dimaksudkan sebagai penegasan kemandirian, namun justru
terdengar seperti sindiran yang menampar tangan yang sedang memberi.
Tak lama berselang, Tan Sri Rais Yatim, mantan Menteri Luar
Negeri Malaysia, menyentil keras. “Belajar adab dulu sebelum bicara,” katanya,
dalam nada yang tak hanya diplomatis, tapi juga penuh luka. Sebuah teguran yang
bukan hanya ditujukan kepada individu, tetapi juga kepada etika komunikasi pejabat
publik lintas negara.
Dalam hukum internasional, hubungan antarnegara dibangun di
atas prinsip mutual respect dan non-interference. Pernyataan yang
meremehkan bantuan kemanusiaan dari negara sahabat dapat dianggap sebagai pelanggaran
terhadap prinsip comitas gentium—kesopanan antarbangsa. Meski tidak
melanggar hukum positif secara eksplisit, pernyataan seperti itu bisa berdampak
pada hubungan bilateral dan persepsi publik internasional.
Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai momen reflektif:
bahwa komunikasi pejabat negara bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan
representasi negara. Dalam hukum administrasi, setiap tindakan pejabat publik
harus memenuhi asas kepatutan dan kewajaran. Ketika kata-kata
melampaui batas itu, maka bukan hanya etika yang tercoreng, tapi juga
legitimasi jabatan.
Kita hidup di era di mana kecepatan bicara sering
mengalahkan kedalaman berpikir. Namun, dalam dunia hukum dan diplomasi, setiap
kata adalah kontrak sosial. Ia bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan.
Etika komunikasi bukan sekadar sopan santun. Ia adalah
fondasi dari due process, dari fair hearing, dari restorative
justice. Ketika pejabat publik bicara tanpa empati, tanpa konteks, tanpa
kehati-hatian, maka yang lahir bukan solusi, melainkan friksi.
Pelajaran dari Polemik
- Hukum
tak selalu bicara tentang pasal, tapi juga tentang rasa. Rasa hormat, rasa empati, rasa tanggung jawab.
- Komunikasi
pejabat publik adalah bagian dari kebijakan negara. Ia bisa mempererat atau meretakkan hubungan
antarbangsa.
- Etika
adalah hukum tak tertulis yang lebih kuat dari tinta undang-undang. Ia hidup dalam persepsi publik dan sejarah.
Dalam dunia yang makin terhubung, diplomasi bukan lagi
monopoli Kementerian Luar Negeri. Setiap pejabat publik adalah duta. Setiap
kata adalah nota diplomatik. Maka, mari kita belajar kembali: bahwa dalam
hukum, dalam etika, dan dalam hidup, berkata baik adalah bentuk tertinggi
dari keadilan. (Adv. Darius Leka S.H)
#etikapublik #hukumdiplomasi #belajaradab #komunikasipejabat
#advokatbersuara #darkalawoffice #shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou
#fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar