Minggu, 21 Desember 2025

Diplomasi yang Tersandung Lidah; Ketika Kata Menjadi Luka Antarbangsa

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Pernyataan Mendagri Tito Karnavian soal bantuan Malaysia untuk Aceh memantik teguran tajam dari eks Menlu Malaysia. Di balik polemik ini, terselip pelajaran hukum dan etika komunikasi yang tak boleh diabaikan.

“Mulutmu harimaumu.” Pepatah lama ini kembali menggema, bukan dari panggung sandiwara, melainkan dari panggung diplomasi. Kali ini, sang harimau mengaum dari Jakarta dan mengguncang Kuala Lumpur.

Dalam sebuah podcast bertajuk Suara Lokal Mengglobal, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan bahwa bantuan Malaysia untuk korban banjir di Aceh “tidak seberapa” dibandingkan dengan sumber daya Indonesia sendiri. Nilainya, katanya, bahkan tak sampai Rp1 miliar. Sebuah pernyataan yang mungkin dimaksudkan sebagai penegasan kemandirian, namun justru terdengar seperti sindiran yang menampar tangan yang sedang memberi.

Tak lama berselang, Tan Sri Rais Yatim, mantan Menteri Luar Negeri Malaysia, menyentil keras. “Belajar adab dulu sebelum bicara,” katanya, dalam nada yang tak hanya diplomatis, tapi juga penuh luka. Sebuah teguran yang bukan hanya ditujukan kepada individu, tetapi juga kepada etika komunikasi pejabat publik lintas negara.

Dalam hukum internasional, hubungan antarnegara dibangun di atas prinsip mutual respect dan non-interference. Pernyataan yang meremehkan bantuan kemanusiaan dari negara sahabat dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip comitas gentium—kesopanan antarbangsa. Meski tidak melanggar hukum positif secara eksplisit, pernyataan seperti itu bisa berdampak pada hubungan bilateral dan persepsi publik internasional.

Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai momen reflektif: bahwa komunikasi pejabat negara bukan sekadar ekspresi pribadi, melainkan representasi negara. Dalam hukum administrasi, setiap tindakan pejabat publik harus memenuhi asas kepatutan dan kewajaran. Ketika kata-kata melampaui batas itu, maka bukan hanya etika yang tercoreng, tapi juga legitimasi jabatan.

Kita hidup di era di mana kecepatan bicara sering mengalahkan kedalaman berpikir. Namun, dalam dunia hukum dan diplomasi, setiap kata adalah kontrak sosial. Ia bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan.

Etika komunikasi bukan sekadar sopan santun. Ia adalah fondasi dari due process, dari fair hearing, dari restorative justice. Ketika pejabat publik bicara tanpa empati, tanpa konteks, tanpa kehati-hatian, maka yang lahir bukan solusi, melainkan friksi.

Pelajaran dari Polemik

  1. Hukum tak selalu bicara tentang pasal, tapi juga tentang rasa. Rasa hormat, rasa empati, rasa tanggung jawab.
  2. Komunikasi pejabat publik adalah bagian dari kebijakan negara. Ia bisa mempererat atau meretakkan hubungan antarbangsa.
  3. Etika adalah hukum tak tertulis yang lebih kuat dari tinta undang-undang. Ia hidup dalam persepsi publik dan sejarah.

Dalam dunia yang makin terhubung, diplomasi bukan lagi monopoli Kementerian Luar Negeri. Setiap pejabat publik adalah duta. Setiap kata adalah nota diplomatik. Maka, mari kita belajar kembali: bahwa dalam hukum, dalam etika, dan dalam hidup, berkata baik adalah bentuk tertinggi dari keadilan. (Adv. Darius Leka S.H)


#etikapublik #hukumdiplomasi #belajaradab #komunikasipejabat #advokatbersuara #darkalawoffice #shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar