JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di layar kaca, dua pria bersilang kata. Tapi di balik mikrofon dan sorotan kamera, publik bertanya: apakah ini debat hukum, atau sekadar duel ego yang dibungkus jargon akademik?
Dalam sebuah program televisi bertajuk Rakyat Bersuara, dua tokoh
publik—Razman Arif Nasution, advokat flamboyan, dan Roy
Suryo, mantan Menpora sekaligus “pakar” telematika—terlibat dalam
perdebatan panas. Bukan soal pasal atau yurisprudensi, tapi soal… sertifikat.
Razman, dengan nada tinggi, mempertanyakan: “Anda punya sertifikat ahli
telematika?”
Roy, seperti biasa, menjawab dengan gaya khasnya: “Saya ini pakar, bukan
karena sertifikat, tapi karena pengalaman.”
Dan publik pun terbelah: antara yang terhibur, dan yang prihatin.
Dalam dunia hukum, keahlian bukan sekadar gelar. Ia harus
dibuktikan dengan sertifikasi, rekognisi akademik, dan pengalaman yang
terukur. Apalagi jika seseorang mengklaim sebagai ahli telematika—bidang
yang sangat teknis dan berdampak pada pembuktian hukum digital.
Roy Suryo memang dikenal luas sebagai komentator teknologi sejak era awal
internet di Indonesia. Namun, hingga kini, tidak ada bukti publik bahwa
ia memiliki sertifikasi resmi sebagai ahli telematika dari lembaga
yang diakui. Ini bukan soal meragukan kapasitas, tapi soal standar
profesionalisme.
Dalam konteks hukum, seorang ahli yang memberikan keterangan di pengadilan
harus memenuhi syarat sebagai saksi ahli sesuai Pasal 186
KUHAP. Tanpa sertifikasi atau rekognisi formal, maka keterangannya bisa
dipertanyakan validitasnya.
Sementara itu, Razman Arif Nasution, sebagai advokat, seharusnya memahami
bahwa Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) melarang penggunaan
kata-kata yang merendahkan martabat orang lain, apalagi di ruang publik. Ketika
debat berubah menjadi ajang saling serang pribadi, maka yang tercoreng bukan
hanya nama masing-masing, tapi juga wibawa profesi hukum.
Advokat bukan gladiator. Ia bukan petarung di arena hiburan. Ia adalah
penjaga hukum, pelindung keadilan, dan pengawal etika.
Apa yang terjadi antara Roy dan Razman adalah cermin dari krisis integritas
dalam ruang publik kita. Ketika debat hukum berubah jadi adu bacot,
maka publik kehilangan arah, dan hukum kehilangan makna.
Sebagai advokat, saya percaya: lebih baik diam dengan integritas,
daripada bicara tanpa dasar. Karena dalam hukum, yang kita bela bukan
ego, tapi kebenaran.
Karena dalam dunia hukum, suara yang paling keras bukan yang paling
benar—tapi yang paling berdasar.
#shdariusleka
#jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#etikaadvokat
#sertifikasiahli #roysuryo #razmannasution #hukumdigital #debattanpadata

Tidak ada komentar:
Posting Komentar