JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Dalam dunia opini yang gaduh, kebenaran bukan hanya soal siapa yang paling keras bicara, tapi siapa yang paling siap diuji. Dan malam itu, di panggung “Rakyat Bersuara”, mikrofon menjadi cermin: memantulkan logika yang rapuh dan membakar ego yang rapuh.
Tanggal 3 Juni 2025, program Rakyat Bersuara di iNews TV menjadi
ajang panas ketika dr. Tifauzia Tyassuma, atau yang akrab
disapa dr. Tifa, tampil membahas polemik ijazah Presiden Joko
Widodo. Ia hadir bersama Roy Suryo dan Resmon Sianipar, tiga tokoh yang
dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan penyebaran berita bohong.
Namun, alih-alih menjadi ruang klarifikasi, talkshow itu berubah menjadi
arena blunder. Di hadapan publik, dr. Tifa menyatakan siap dipenjara jika terbukti
salah. Tapi ketika Aiman Witjaksono, sang host, mulai
mengajukan pertanyaan tajam dan sistematis, narasi dr. Tifa mulai goyah.
Dalam salah satu segmen, Aiman bertanya: “Apakah Anda memiliki bukti
otentik bahwa ijazah Presiden palsu?”
dr. Tifa menjawab dengan mengutip “analisis visual” dan “perbandingan dokumen”.
Namun, ketika ditanya apakah ia memiliki keahlian forensik dokumen atau
sertifikasi yang relevan, jawabannya mengambang.
Aiman, dengan ketenangan khasnya, menekan: “Jadi Anda bukan ahli
forensik dokumen, bukan juga ahli hukum, tapi menyimpulkan sesuatu yang bisa
berdampak hukum?”
Dan di situlah publik menyaksikan detik-detik blunder: ketika opini pribadi
dipaksa menjadi fakta hukum, dan ketika narasi emosional tak mampu menahan
beban logika.
Dalam hukum pidana, keterangan ahli adalah salah satu alat
bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP. Namun, untuk menjadi ahli, seseorang harus
memiliki kompetensi, pengalaman, dan rekognisi formal di
bidangnya. Tanpa itu, pendapatnya hanya dianggap opini biasa—bukan bukti hukum.
dr. Tifa, meski seorang dokter, bukan ahli forensik dokumen. Maka, ketika ia
menyimpulkan keaslian atau kepalsuan ijazah berdasarkan “pengamatan visual”,
maka kesimpulannya tidak memiliki bobot hukum. Bahkan bisa berbalik menjadi delik
pencemaran nama baik atau penyebaran hoaks, jika tidak didukung bukti
sahih.
Talkshow bukan ruang sidang. Tapi ketika opini disampaikan di ruang publik,
maka konsekuensinya bisa setara dengan ruang pengadilan. Dan malam itu, publik
belajar satu hal penting: beropini itu hak, tapi menyebar tuduhan tanpa
dasar adalah risiko hukum.
Sebagai advokat, saya mengingatkan: jangan pernah bermain-main dengan
hukum, apalagi di depan kamera. Karena mikrofon tak pernah netral—ia bisa
menjadi alat klarifikasi, atau justru alat eksekusi reputasi.
Karena dalam hukum, yang paling penting bukan siapa yang bicara, tapi
siapa yang bisa membuktikan.
#shdariusleka
#jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#hukumdigital
#etikaberopini #doktertifa #aimanskakmat #rakyatbersuara #ijazahjokowi

Tidak ada komentar:
Posting Komentar