Rabu, 17 Desember 2025

Ketika Mikrofon Menjadi Cermin; Blunder dr. Tifa dan Skakmat Aiman di Rakyat Bersuara

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Dalam dunia opini yang gaduh, kebenaran bukan hanya soal siapa yang paling keras bicara, tapi siapa yang paling siap diuji. Dan malam itu, di panggung “Rakyat Bersuara”, mikrofon menjadi cermin: memantulkan logika yang rapuh dan membakar ego yang rapuh.

Tanggal 3 Juni 2025, program Rakyat Bersuara di iNews TV menjadi ajang panas ketika dr. Tifauzia Tyassuma, atau yang akrab disapa dr. Tifa, tampil membahas polemik ijazah Presiden Joko Widodo. Ia hadir bersama Roy Suryo dan Resmon Sianipar, tiga tokoh yang dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan penyebaran berita bohong.

Namun, alih-alih menjadi ruang klarifikasi, talkshow itu berubah menjadi arena blunder. Di hadapan publik, dr. Tifa menyatakan siap dipenjara jika terbukti salah. Tapi ketika Aiman Witjaksono, sang host, mulai mengajukan pertanyaan tajam dan sistematis, narasi dr. Tifa mulai goyah.

Dalam salah satu segmen, Aiman bertanya: “Apakah Anda memiliki bukti otentik bahwa ijazah Presiden palsu?”
dr. Tifa menjawab dengan mengutip “analisis visual” dan “perbandingan dokumen”. Namun, ketika ditanya apakah ia memiliki keahlian forensik dokumen atau sertifikasi yang relevan, jawabannya mengambang.

Aiman, dengan ketenangan khasnya, menekan: “Jadi Anda bukan ahli forensik dokumen, bukan juga ahli hukum, tapi menyimpulkan sesuatu yang bisa berdampak hukum?”

Dan di situlah publik menyaksikan detik-detik blunder: ketika opini pribadi dipaksa menjadi fakta hukum, dan ketika narasi emosional tak mampu menahan beban logika.

Dalam hukum pidana, keterangan ahli adalah salah satu alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP. Namun, untuk menjadi ahli, seseorang harus memiliki kompetensi, pengalaman, dan rekognisi formal di bidangnya. Tanpa itu, pendapatnya hanya dianggap opini biasa—bukan bukti hukum.

dr. Tifa, meski seorang dokter, bukan ahli forensik dokumen. Maka, ketika ia menyimpulkan keaslian atau kepalsuan ijazah berdasarkan “pengamatan visual”, maka kesimpulannya tidak memiliki bobot hukum. Bahkan bisa berbalik menjadi delik pencemaran nama baik atau penyebaran hoaks, jika tidak didukung bukti sahih.

Talkshow bukan ruang sidang. Tapi ketika opini disampaikan di ruang publik, maka konsekuensinya bisa setara dengan ruang pengadilan. Dan malam itu, publik belajar satu hal penting: beropini itu hak, tapi menyebar tuduhan tanpa dasar adalah risiko hukum.

Sebagai advokat, saya mengingatkan: jangan pernah bermain-main dengan hukum, apalagi di depan kamera. Karena mikrofon tak pernah netral—ia bisa menjadi alat klarifikasi, atau justru alat eksekusi reputasi.

Karena dalam hukum, yang paling penting bukan siapa yang bicara, tapi siapa yang bisa membuktikan.

 

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#hukumdigital #etikaberopini #doktertifa #aimanskakmat #rakyatbersuara #ijazahjokowi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar