Rabu, 17 Desember 2025

Ketika Negara Tak Lagi Menjaga Gerbang Tanah; Blokir yang Tak Pernah Terkunci

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Jika Badan Pertanahan Diam Saat Sengketa, Maka Hukum pun Bisa Menjerit. Di sebuah ruang tunggu berdebu, seorang ibu paruh baya duduk memeluk map lusuh berisi dokumen tanah warisan. Matanya menatap kosong ke arah loket Badan Pertanahan Nasional (BPN), tempat ia telah bolak-balik selama tiga bulan. Ia hanya ingin satu hal: agar tanah yang sedang disengketakan tidak berpindah tangan. Ia ingin permohonan blokirnya diproses. Tapi negara, melalui BPN, memilih diam.

Pemblokiran tanah adalah mekanisme administratif yang diatur dalam sistem pertanahan Indonesia. Ia bukan sekadar formalitas, melainkan tameng hukum yang mencegah terjadinya peralihan hak atas tanah yang sedang disengketakan. Menurut data Kementerian ATR/BPN, ribuan permohonan blokir diajukan setiap tahun, mayoritas karena konflik kepemilikan atau indikasi pemalsuan sertifikat.

Namun, ketika BPN tidak memproses permohonan tersebut, maka bukan hanya hak warga yang terancam, tetapi juga integritas negara sebagai pelindung hak atas tanah.

Dalam hukum pidana, kelalaian pejabat publik yang menyebabkan kerugian dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Pasal 421 KUHP menyebutkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan atau membiarkan sesuatu terjadi yang merugikan orang lain, dapat dikenai sanksi pidana.

Jika BPN tidak memproses permohonan blokir padahal telah ada indikasi sengketa, maka itu bukan lagi sekadar kelalaian administratif. Itu adalah bentuk pembiaran yang bisa membuka ruang bagi mafia tanah untuk bermain. Dan ketika tanah berpindah tangan secara diam-diam, siapa yang akan bertanggung jawab?

Negara, melalui BPN, memiliki mandat konstitusional untuk menjamin kepastian hukum atas tanah. Ketika permohonan blokir diabaikan, negara sedang membiarkan warganya bertarung tanpa pelindung di arena hukum yang keras. Ini bukan sekadar soal prosedur. Ini soal keadilan.

Bayangkan jika rumah Anda dijual tanpa sepengetahuan Anda, hanya karena permohonan blokir Anda tidak diproses. Bukankah itu bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik?

Ironisnya, dalam praktiknya, permohonan blokir seringkali lebih cepat diproses jika diajukan oleh pihak yang "berpengaruh". Sementara rakyat kecil harus menunggu, berharap, dan berdoa. Seolah-olah hukum adalah panggung sandiwara, dan rakyat hanya penonton yang tak pernah diberi peran.

Sebagai advokat, saya menyerukan kepada masyarakat: dokumentasikan setiap langkah. Simpan bukti permohonan, surat tanda terima, dan komunikasi dengan petugas. Jika perlu, ajukan gugatan atau laporkan ke aparat penegak hukum. Karena kelalaian yang dibiarkan akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan buruk birokrasi adalah musuh utama keadilan.

Tanah bukan sekadar benda mati. Ia adalah sejarah, identitas, dan masa depan. Ketika negara abai menjaga tanah warganya, maka negara sedang menggali lubang bagi dirinya sendiri.

 

Oleh: Seorang Advokat yang Masih Percaya Hukum Bisa Menjadi Rumah, Bukan Hutan

#jangkarkeadilan #shdariusleka #tanahuntukrakyat #foryou #fyp #reels #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar