JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Jika Badan Pertanahan Diam Saat Sengketa, Maka Hukum pun Bisa Menjerit. Di sebuah ruang tunggu berdebu, seorang ibu paruh baya duduk memeluk map lusuh berisi dokumen tanah warisan. Matanya menatap kosong ke arah loket Badan Pertanahan Nasional (BPN), tempat ia telah bolak-balik selama tiga bulan. Ia hanya ingin satu hal: agar tanah yang sedang disengketakan tidak berpindah tangan. Ia ingin permohonan blokirnya diproses. Tapi negara, melalui BPN, memilih diam.
Pemblokiran tanah adalah mekanisme administratif yang diatur dalam sistem
pertanahan Indonesia. Ia bukan sekadar formalitas, melainkan tameng hukum
yang mencegah terjadinya peralihan hak atas tanah yang sedang disengketakan.
Menurut data
Kementerian ATR/BPN, ribuan permohonan blokir diajukan setiap tahun,
mayoritas karena konflik kepemilikan atau indikasi pemalsuan sertifikat.
Namun, ketika BPN tidak memproses permohonan tersebut, maka bukan hanya hak
warga yang terancam, tetapi juga integritas negara sebagai pelindung hak atas
tanah.
Dalam hukum pidana, kelalaian pejabat publik yang menyebabkan kerugian dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum. Pasal 421 KUHP menyebutkan
bahwa pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan atau membiarkan sesuatu terjadi
yang merugikan orang lain, dapat dikenai sanksi pidana.
Jika BPN tidak memproses permohonan blokir padahal telah ada indikasi
sengketa, maka itu bukan lagi sekadar kelalaian administratif. Itu adalah
bentuk pembiaran yang bisa membuka ruang bagi mafia tanah untuk bermain. Dan
ketika tanah berpindah tangan secara diam-diam, siapa yang akan bertanggung
jawab?
Negara, melalui BPN, memiliki mandat konstitusional untuk menjamin kepastian
hukum atas tanah. Ketika permohonan blokir diabaikan, negara sedang membiarkan
warganya bertarung tanpa pelindung di arena hukum yang keras. Ini bukan sekadar
soal prosedur. Ini soal keadilan.
Bayangkan jika rumah Anda dijual tanpa sepengetahuan Anda, hanya karena
permohonan blokir Anda tidak diproses. Bukankah itu bentuk pengkhianatan terhadap
kepercayaan publik?
Ironisnya, dalam praktiknya, permohonan blokir seringkali lebih cepat
diproses jika diajukan oleh pihak yang "berpengaruh". Sementara
rakyat kecil harus menunggu, berharap, dan berdoa. Seolah-olah hukum adalah
panggung sandiwara, dan rakyat hanya penonton yang tak pernah diberi peran.
Sebagai advokat, saya menyerukan kepada masyarakat: dokumentasikan setiap
langkah. Simpan bukti permohonan, surat tanda terima, dan komunikasi dengan
petugas. Jika perlu, ajukan gugatan atau laporkan ke aparat penegak hukum.
Karena kelalaian yang dibiarkan akan menjadi kebiasaan. Dan kebiasaan buruk
birokrasi adalah musuh utama keadilan.
Tanah bukan sekadar benda mati. Ia adalah sejarah, identitas, dan masa
depan. Ketika negara abai menjaga tanah warganya, maka negara sedang menggali
lubang bagi dirinya sendiri.
Oleh: Seorang
Advokat yang Masih Percaya Hukum Bisa Menjadi Rumah, Bukan Hutan
#jangkarkeadilan #shdariusleka #tanahuntukrakyat #foryou #fyp #reels
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar