Rabu, 17 Desember 2025

"Ijazah, Narasi, dan Skakmat; Ketika Hukum Diuji di Panggung Opini"

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di ruang sidang, kebenaran bukan soal siapa paling lantang, tapi siapa paling bisa membuktikan.”  Jakarta, 13 Desember 2025 — Hari itu, ruang sidang di Polda Metro Jaya terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena suhu udara, melainkan karena tensi yang menggelegak antara dua tokoh publik: dr. Tifauzia Tyassuma, yang lebih dikenal sebagai Dokter Tifa, dan Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW sekaligus advokat senior yang dikenal tajam dalam berargumentasi.

Dokter Tifa, yang selama ini vokal menyuarakan keraguannya terhadap keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo, kembali menjadi sorotan. Ia hadir sebagai saksi dalam sidang perkara khusus yang menyelidiki dugaan penyebaran informasi bohong terkait ijazah Presiden. Namun, bukan hanya pertanyaan penyidik yang membuatnya terdiam. Kali ini, skakmat datang dari arah yang tak terduga: sesama warga sipil, sesama pencari kebenaran—Sugeng Teguh Santoso.

Sugeng, dengan tenang namun tajam, mematahkan narasi liar yang dibangun Tifa. Ia mempertanyakan dasar hukum dari klaim Tifa yang menyebut bahwa sidang ini hanyalah bentuk loyalitas Polri terhadap Presiden. “Jika Anda menuduh institusi penegak hukum berpihak tanpa bukti, maka Anda sedang bermain di ranah fitnah, bukan kritik,” ujar Sugeng, yang disambut riuh rendah ruang sidang.

Tifa, yang sebelumnya lantang di media sosial, mendadak bungkam. Wajahnya pucat, bukan karena kalah debat, tapi karena realitas hukum tak bisa ditundukkan oleh opini semata. Ia dicecar 68 pertanyaan oleh penyidik, namun tetap bersikukuh bahwa dirinya hanya mencari kebenaran.

Sebagai advokat, saya memahami pentingnya kebebasan berpendapat. Namun, kebebasan itu bukan tanpa batas. Dalam hukum, ada garis tipis antara kritik yang sah dan penyebaran informasi palsu. Ketika seseorang menyampaikan tuduhan serius—apalagi terhadap kepala negara—maka beban pembuktian ada padanya. Tanpa bukti, narasi berubah menjadi delusi. Dan delusi yang disebar ke publik bisa menjadi senjata makan tuan.

Tudingan bahwa Polri hanya loyal kepada Presiden adalah tuduhan serius. Namun, bagaimana kita bisa menilai loyalitas institusi jika tidak melalui mekanisme hukum yang sah? Jika Polri memproses laporan dugaan penyebaran hoaks, itu bukan berarti mereka berpihak, melainkan menjalankan tugas sesuai KUHP dan UU ITE.

Sugeng, dalam kapasitasnya sebagai advokat, mengingatkan bahwa hukum bukan panggung sandiwara. Ia menuntut agar semua pihak—baik yang pro maupun kontra—bermain di arena yang sama: fakta dan bukti.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat: jangan mudah terprovokasi oleh narasi yang belum tentu berdasar. Dalam era digital, opini bisa viral dalam hitungan detik, tapi kebenaran hukum membutuhkan proses panjang dan bukti yang sah.

Sebagai advokat, saya mengajak publik untuk lebih kritis. Jangan hanya membaca judul, tapi pahami konteks. Jangan hanya percaya pada tokoh, tapi uji argumennya. Karena dalam hukum, yang berbicara bukan volume suara, tapi kekuatan bukti.

 

#hukumbukanopini #bijakbermedsos #advokatbicarafakta #ijazahjokowi #etikadigital #literasihukum #jangkarkeadilan #shdariusleka #tanahuntukrakyat #foryou #fyp #reels #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar