JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di ruang sidang, kebenaran bukan soal siapa paling lantang, tapi siapa paling bisa membuktikan.” Jakarta, 13 Desember 2025 — Hari itu, ruang sidang di Polda Metro Jaya terasa lebih panas dari biasanya. Bukan karena suhu udara, melainkan karena tensi yang menggelegak antara dua tokoh publik: dr. Tifauzia Tyassuma, yang lebih dikenal sebagai Dokter Tifa, dan Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW sekaligus advokat senior yang dikenal tajam dalam berargumentasi.
Dokter Tifa, yang selama ini vokal menyuarakan keraguannya terhadap
keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo, kembali menjadi sorotan. Ia hadir
sebagai saksi dalam sidang perkara khusus yang menyelidiki dugaan penyebaran
informasi bohong terkait ijazah Presiden. Namun, bukan hanya pertanyaan
penyidik yang membuatnya terdiam. Kali ini, skakmat datang dari arah yang tak
terduga: sesama warga sipil, sesama pencari kebenaran—Sugeng Teguh Santoso.
Sugeng, dengan tenang namun tajam, mematahkan narasi liar yang dibangun
Tifa. Ia mempertanyakan dasar hukum dari klaim Tifa yang menyebut bahwa sidang
ini hanyalah bentuk loyalitas Polri terhadap Presiden. “Jika Anda menuduh
institusi penegak hukum berpihak tanpa bukti, maka Anda sedang bermain di ranah
fitnah, bukan kritik,” ujar Sugeng, yang disambut riuh rendah ruang sidang.
Tifa, yang sebelumnya lantang di media sosial, mendadak bungkam. Wajahnya
pucat, bukan karena kalah debat, tapi karena realitas hukum tak bisa
ditundukkan oleh opini semata. Ia dicecar 68 pertanyaan oleh penyidik, namun
tetap bersikukuh bahwa dirinya hanya mencari kebenaran.
Sebagai advokat, saya memahami pentingnya kebebasan berpendapat. Namun,
kebebasan itu bukan tanpa batas. Dalam hukum, ada garis tipis antara kritik
yang sah dan penyebaran informasi palsu. Ketika seseorang menyampaikan tuduhan
serius—apalagi terhadap kepala negara—maka beban pembuktian ada padanya. Tanpa
bukti, narasi berubah menjadi delusi. Dan delusi yang disebar ke publik bisa menjadi
senjata makan tuan.
Tudingan bahwa Polri hanya loyal kepada Presiden adalah tuduhan serius.
Namun, bagaimana kita bisa menilai loyalitas institusi jika tidak melalui
mekanisme hukum yang sah? Jika Polri memproses laporan dugaan penyebaran hoaks,
itu bukan berarti mereka berpihak, melainkan menjalankan tugas sesuai KUHP dan
UU ITE.
Sugeng, dalam kapasitasnya sebagai advokat, mengingatkan bahwa hukum bukan
panggung sandiwara. Ia menuntut agar semua pihak—baik yang pro maupun
kontra—bermain di arena yang sama: fakta dan bukti.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi masyarakat: jangan mudah
terprovokasi oleh narasi yang belum tentu berdasar. Dalam era digital,
opini bisa viral dalam hitungan detik, tapi kebenaran hukum membutuhkan proses
panjang dan bukti yang sah.
Sebagai advokat, saya mengajak publik untuk lebih kritis. Jangan hanya
membaca judul, tapi pahami konteks. Jangan hanya percaya pada tokoh, tapi uji
argumennya. Karena dalam hukum, yang berbicara bukan volume suara, tapi
kekuatan bukti.
#hukumbukanopini
#bijakbermedsos #advokatbicarafakta #ijazahjokowi #etikadigital #literasihukum
#jangkarkeadilan #shdariusleka #tanahuntukrakyat #foryou #fyp #reels
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar