Rabu, 17 Desember 2025

"Ijazah, Panggung, dan Pucatnya Kebenaran: Ketika Hukum Diuji oleh Narasi"

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di sebuah ruangan berpendingin udara di Polda Metro Jaya, waktu seolah berhenti. Gelar perkara khusus yang digelar atas laporan penyebaran hoaks ijazah palsu Presiden Joko Widodo menjadi panggung yang tak kalah dramatis dari lakon Shakespeare. Roy Suryo dan koleganya hadir, bukan sebagai pengamat, tapi sebagai pihak yang harus mempertanggungjawabkan narasi yang mereka bangun.

Ketika penyidik membuka map berisi dokumen yang diklaim sebagai ijazah asli Presiden ke-7 RI itu, suasana berubah. Tak ada lagi tawa sinis, tak ada lagi gestur percaya diri. Yang tersisa hanyalah wajah-wajah yang memucat, mata yang tak lagi menari, dan bibir yang terkunci rapat. Fakta, seperti matahari, tak bisa ditutupi dengan telapak tangan.

Namun, seperti biasa, panggung kedua justru terjadi di luar ruang perkara. Di hadapan kamera dan mikrofon, Roy Suryo Cs kembali memainkan peran lama: menyangsikan proses, menuding konspirasi, dan menyebut gelar perkara sebagai “pengalihan isu”.

Mereka tahu, dalam era pasca-kebenaran (post-truth), persepsi lebih tajam dari bukti. Maka, meski fakta telah ditunjukkan, narasi tetap digoreng—dengan bumbu sensasi, minyak opini, dan api politik.

Sebagai advokat, saya tak hendak membela siapa pun. Tapi saya percaya, hukum adalah pagar terakhir dari akal sehat publik. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana secara tegas menyebutkan: menyebarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran dapat dipidana.

Jika seseorang tetap menyebarkan tuduhan palsu meski telah ditunjukkan bukti otentik, maka itu bukan lagi kritik, melainkan sabotase terhadap kepercayaan publik. Dan ketika kepercayaan publik runtuh, hukum tak lagi berdiri di atas pilar keadilan, melainkan di atas panggung sandiwara.

Masyarakat perlu tahu: kritik adalah hak, tapi harus berbasis data. Menuduh tanpa bukti bukanlah keberanian, melainkan kebodohan yang dibungkus keberisikan. Proses hukum bukanlah arena untuk adu nyali, tapi ruang untuk menguji kebenaran.

Gelar perkara bukanlah panggung politik. Ia adalah forum klarifikasi, bukan kontes opini. Dan ketika fakta telah hadir, maka diam adalah bentuk paling jujur dari pengakuan.

Di negeri ini, terkadang yang paling keras bersuara justru yang paling takut pada kebenaran. Tapi hukum tak bisa dibungkam oleh mikrofon. Ia berjalan, meski tertatih. Ia menulis sejarah, meski dengan tinta luka.

Dan Roy Suryo Cs, yang semula lantang, kini harus belajar satu hal: bahwa dalam hukum, yang paling penting bukanlah siapa yang paling keras bicara, tapi siapa yang paling jujur menghadapi bukti.

 

Oleh; Seorang Advokat, Penjaga Nurani Hukum

#shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou #fyp #hukumdanlogika #ijazahdanintegritas #advokatbicara #reels #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar