JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di sebuah ruangan berpendingin udara di Polda Metro Jaya, waktu seolah berhenti. Gelar perkara khusus yang digelar atas laporan penyebaran hoaks ijazah palsu Presiden Joko Widodo menjadi panggung yang tak kalah dramatis dari lakon Shakespeare. Roy Suryo dan koleganya hadir, bukan sebagai pengamat, tapi sebagai pihak yang harus mempertanggungjawabkan narasi yang mereka bangun.
Ketika penyidik membuka map berisi dokumen yang diklaim sebagai ijazah asli
Presiden ke-7 RI itu, suasana berubah. Tak ada lagi tawa sinis, tak ada lagi
gestur percaya diri. Yang tersisa hanyalah wajah-wajah yang memucat, mata yang
tak lagi menari, dan bibir yang terkunci rapat. Fakta, seperti matahari, tak
bisa ditutupi dengan telapak tangan.
Namun, seperti biasa, panggung kedua justru terjadi di luar ruang perkara.
Di hadapan kamera dan mikrofon, Roy Suryo Cs kembali memainkan peran lama:
menyangsikan proses, menuding konspirasi, dan menyebut gelar perkara sebagai
“pengalihan isu”.
Mereka tahu, dalam era pasca-kebenaran (post-truth), persepsi lebih
tajam dari bukti. Maka, meski fakta telah ditunjukkan, narasi tetap
digoreng—dengan bumbu sensasi, minyak opini, dan api politik.
Sebagai advokat, saya tak hendak membela siapa pun. Tapi saya percaya, hukum
adalah pagar terakhir dari akal sehat publik. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana secara tegas menyebutkan: menyebarkan
berita bohong yang menimbulkan keonaran dapat dipidana.
Jika seseorang tetap menyebarkan tuduhan palsu meski telah ditunjukkan bukti
otentik, maka itu bukan lagi kritik, melainkan sabotase terhadap kepercayaan
publik. Dan ketika kepercayaan publik runtuh, hukum tak lagi berdiri di atas
pilar keadilan, melainkan di atas panggung sandiwara.
Masyarakat perlu tahu: kritik adalah hak, tapi harus berbasis data. Menuduh
tanpa bukti bukanlah keberanian, melainkan kebodohan yang dibungkus
keberisikan. Proses hukum bukanlah arena untuk adu nyali, tapi ruang untuk
menguji kebenaran.
Gelar perkara bukanlah panggung politik. Ia adalah forum klarifikasi, bukan
kontes opini. Dan ketika fakta telah hadir, maka diam adalah bentuk paling
jujur dari pengakuan.
Di negeri ini, terkadang yang paling keras bersuara justru yang paling takut
pada kebenaran. Tapi hukum tak bisa dibungkam oleh mikrofon. Ia berjalan, meski
tertatih. Ia menulis sejarah, meski dengan tinta luka.
Dan Roy Suryo Cs, yang semula lantang, kini harus belajar satu hal: bahwa
dalam hukum, yang paling penting bukanlah siapa yang paling keras bicara, tapi
siapa yang paling jujur menghadapi bukti.
Oleh; Seorang
Advokat, Penjaga Nurani Hukum
#shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou #fyp #hukumdanlogika
#ijazahdanintegritas #advokatbicara #reels #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar