Rabu, 17 Desember 2025

Roy Suryo dan Ijazah UGM 1985; Antara Bukti, Simbol, dan Drama Hukum

JANGKARKEADILAN, JAKARTA —
Ketika selembar ijazah menjadi panggung politik dan hukum, siapa yang benar-benar mencari kebenaran, dan siapa yang sekadar menari di atas panggung opini?

Di negeri yang gemar drama dan penuh tafsir, selembar ijazah bisa menjelma jadi senjata politik. Begitulah yang terjadi ketika Roy Suryo, mantan Menpora dan pakar telematika, menyeret selembar ijazah Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1985 ke hadapan penyidik Polda Metro Jaya. Bukan untuk melamar kerja, tapi untuk “menguji” keaslian ijazah Presiden Joko Widodo dalam gelar perkara khusus pada 15 Desember 2025.

Roy menyebut ijazah itu sebagai pembanding. Ia membawa dokumen milik alumni UGM angkatan yang sama dengan Jokowi, lengkap dengan watermark dan emboss. Tujuannya? Membuktikan bahwa ijazah Jokowi “tidak presisi” dan diduga palsu.

Namun, benarkah ini langkah hukum yang sahih? Atau sekadar manuver opini yang dibungkus dalam jargon pembuktian?

Gelar perkara khusus ini bukan inisiatif penyidik, melainkan permintaan dari para tersangka, termasuk Roy Suryo sendiri. Ia kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan fitnah terhadap Presiden Jokowi. Ironisnya, Roy justru tampil sebagai “penantang” dalam forum yang seharusnya menjadi ajang klarifikasi atas tuduhannya.

Dalam pernyataannya, Roy menolak tudingan rekayasa dokumen. Ia bersikukuh bahwa analisisnya terhadap ijazah Jokowi didasarkan pada “kajian teknis” dan “data pembanding”. Tapi publik bertanya: apakah ini pembelaan hukum atau sekadar panggung politik?

Dalam hukum pidana, pembuktian bukanlah soal siapa yang paling keras bersuara, tapi siapa yang paling kuat datanya. Pasal 184 KUHAP menyebut alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pertanyaannya: apakah ijazah orang lain bisa dijadikan pembanding untuk membuktikan keaslian atau kepalsuan ijazah seseorang? Dalam praktik hukum, pembanding bisa digunakan, tapi harus relevan, autentik, dan diuji secara forensik oleh ahli yang kompeten. Tanpa itu, pembanding hanya akan menjadi gimmick—lebih cocok untuk konten reels ketimbang ruang sidang.

Kasus ini bukan hanya soal ijazah. Ini soal bagaimana hukum bisa diseret ke dalam pusaran opini, bagaimana pembuktian bisa dikaburkan oleh narasi, dan bagaimana publik bisa digiring untuk percaya pada drama ketimbang data.

Sebagai advokat, saya percaya: hukum harus menjadi cahaya, bukan bayangan. Jika kita membiarkan hukum dijadikan alat untuk panggung politik, maka kita sedang menulis naskah tragedi bagi republik ini.

Karena dalam hukum, kebenaran tak bisa dibuktikan dengan salinan, tapi dengan kejujuran dan integritas.


#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#hukumbukandrama #ijazahbukansenjata #roysuryo #edukasihukum #advokatbersuara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar