Di negeri yang gemar drama dan penuh tafsir, selembar ijazah bisa menjelma
jadi senjata politik. Begitulah yang terjadi ketika Roy Suryo,
mantan Menpora dan pakar telematika, menyeret selembar ijazah Universitas
Gadjah Mada (UGM) tahun 1985 ke hadapan penyidik Polda Metro Jaya. Bukan untuk
melamar kerja, tapi untuk “menguji” keaslian ijazah Presiden Joko Widodo dalam
gelar perkara khusus pada 15 Desember 2025.
Roy menyebut ijazah itu sebagai pembanding. Ia membawa dokumen
milik alumni UGM angkatan yang sama dengan Jokowi, lengkap dengan watermark dan
emboss. Tujuannya? Membuktikan bahwa ijazah Jokowi “tidak presisi” dan diduga
palsu.
Namun, benarkah ini langkah hukum yang sahih? Atau sekadar manuver opini
yang dibungkus dalam jargon pembuktian?
Gelar perkara khusus ini bukan inisiatif penyidik, melainkan permintaan dari
para tersangka, termasuk Roy Suryo sendiri. Ia kini berstatus tersangka dalam
kasus dugaan fitnah terhadap Presiden Jokowi. Ironisnya, Roy justru tampil
sebagai “penantang” dalam forum yang seharusnya menjadi ajang klarifikasi atas
tuduhannya.
Dalam pernyataannya, Roy menolak tudingan rekayasa dokumen. Ia bersikukuh
bahwa analisisnya terhadap ijazah Jokowi didasarkan pada “kajian teknis” dan
“data pembanding”. Tapi publik bertanya: apakah ini pembelaan hukum atau
sekadar panggung politik?
Dalam hukum pidana, pembuktian bukanlah soal siapa yang paling keras
bersuara, tapi siapa yang paling kuat datanya. Pasal 184 KUHAP menyebut alat
bukti yang sah meliputi keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.
Pertanyaannya: apakah ijazah orang lain bisa dijadikan pembanding untuk
membuktikan keaslian atau kepalsuan ijazah seseorang? Dalam praktik hukum,
pembanding bisa digunakan, tapi harus relevan, autentik, dan diuji secara
forensik oleh ahli yang kompeten. Tanpa itu, pembanding hanya akan menjadi gimmick—lebih
cocok untuk konten reels ketimbang ruang sidang.
Kasus ini bukan hanya soal ijazah. Ini soal bagaimana hukum bisa diseret ke
dalam pusaran opini, bagaimana pembuktian bisa dikaburkan oleh narasi, dan
bagaimana publik bisa digiring untuk percaya pada drama ketimbang data.
Sebagai advokat, saya percaya: hukum harus menjadi cahaya, bukan
bayangan. Jika kita membiarkan hukum dijadikan alat untuk panggung
politik, maka kita sedang menulis naskah tragedi bagi republik ini.
Karena dalam hukum, kebenaran tak bisa dibuktikan dengan salinan, tapi
dengan kejujuran dan integritas.
#shdariusleka
#jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#hukumbukandrama
#ijazahbukansenjata #roysuryo #edukasihukum #advokatbersuara

Tidak ada komentar:
Posting Komentar