JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri.” Begitu bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Tapi di negeri ini, kebebasan itu kadang menjelma jadi panggung sandiwara, dan kemandirian berubah jadi panggung ego. Maka, ketika dua nama besar seperti Eggi Sudjana dan Ahmad Khozinuddin berseliweran dalam pusaran kontroversi, publik pun bertanya: siapa sebenarnya yang membela, dan siapa yang menjerumuskan?
Eggi Sudjana bukan nama baru. Ia dikenal sebagai advokat yang vokal,
lantang, dan kadang lebih mirip orator politik ketimbang penasihat hukum. Dalam
kasus pembelaan terhadap akademisi Rocky Gerung, Eggi sempat dikabarkan menjadi
bagian dari Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis (TA-AKA-A).
Namun, tak lama kemudian, kuasa hukumnya dicabut oleh tim tersebut. Alasannya?
Eggi dianggap melanggar kesepakatan internal dan membuat pernyataan yang tidak
mewakili tim.
Eggi membela diri. Ia menyatakan tidak pernah menjadi bagian dari tim yang
disebut “Roy Cs” dan menyebut bahwa pencabutan kuasa itu tidak berdasar. Tapi
publik keburu bingung: apakah ini pembelaan yang benar, atau sekadar drama
hukum yang membingungkan?
Di sisi lain, Ahmad Khozinuddin, yang dikenal sebagai Koordinator
Non-Litigasi dalam tim advokasi yang sama, justru dituding oleh sebagian pihak
sebagai “penggiring” klien ke ranah pidana. Tuduhan ini muncul dari narasi
bahwa pendekatan hukum yang ia tempuh terlalu agresif, bahkan berisiko
memperburuk posisi hukum klien.
Namun, dalam dunia hukum, strategi adalah pisau bermata dua. Apa yang tampak
sebagai “penjerumusan” bisa jadi adalah upaya maksimal untuk membela kebenaran
versi klien. Tapi jika strategi itu justru membuat klien terjerat, siapa yang
bertanggung jawab?
Sebagai advokat, kami dibekali dengan Kode Etik Advokat Indonesia
(KEAI). Di sana tertulis jelas: advokat wajib menjaga kehormatan
profesi, tidak boleh menyesatkan klien, dan harus bertindak jujur serta
bertanggung jawab.
Namun, ketika advokat lebih sibuk membangun citra di media sosial ketimbang
membangun strategi hukum yang matang, maka yang dikorbankan bukan hanya
klien—tapi juga martabat profesi.
Pertanyaan “siapa yang benar” antara Eggi dan Ahmad bukan soal siapa yang
lebih keras bersuara, tapi siapa yang lebih taat pada etika. Hukum bukan
panggung sandiwara, dan klien bukan boneka dalam drama ego.
Sebagai advokat, kami bukan hanya pembela hukum, tapi juga penjaga nurani.
Jika kami gagal menjaga itu, maka kami tak lebih dari penjual jasa yang
memperdagangkan nasib manusia.
Karena dalam dunia hukum, yang paling berbahaya bukanlah jaksa yang
menuntut, tapi advokat yang lupa siapa yang ia bela.
Oleh; Seorang
Advokat yang masih percaya pada nurani
#shdariusleka
#jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#etikaadvokat
#hukumuntukrakyat #belabukanjerumuskan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar