Rabu, 17 Desember 2025

"Di Balik Jubah Hitam; Antara Pembela dan Penjerumus"

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri.” Begitu bunyi Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Tapi di negeri ini, kebebasan itu kadang menjelma jadi panggung sandiwara, dan kemandirian berubah jadi panggung ego. Maka, ketika dua nama besar seperti Eggi Sudjana dan Ahmad Khozinuddin berseliweran dalam pusaran kontroversi, publik pun bertanya: siapa sebenarnya yang membela, dan siapa yang menjerumuskan?

Eggi Sudjana bukan nama baru. Ia dikenal sebagai advokat yang vokal, lantang, dan kadang lebih mirip orator politik ketimbang penasihat hukum. Dalam kasus pembelaan terhadap akademisi Rocky Gerung, Eggi sempat dikabarkan menjadi bagian dari Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis (TA-AKA-A). Namun, tak lama kemudian, kuasa hukumnya dicabut oleh tim tersebut. Alasannya? Eggi dianggap melanggar kesepakatan internal dan membuat pernyataan yang tidak mewakili tim.

Eggi membela diri. Ia menyatakan tidak pernah menjadi bagian dari tim yang disebut “Roy Cs” dan menyebut bahwa pencabutan kuasa itu tidak berdasar. Tapi publik keburu bingung: apakah ini pembelaan yang benar, atau sekadar drama hukum yang membingungkan?

Di sisi lain, Ahmad Khozinuddin, yang dikenal sebagai Koordinator Non-Litigasi dalam tim advokasi yang sama, justru dituding oleh sebagian pihak sebagai “penggiring” klien ke ranah pidana. Tuduhan ini muncul dari narasi bahwa pendekatan hukum yang ia tempuh terlalu agresif, bahkan berisiko memperburuk posisi hukum klien.

Namun, dalam dunia hukum, strategi adalah pisau bermata dua. Apa yang tampak sebagai “penjerumusan” bisa jadi adalah upaya maksimal untuk membela kebenaran versi klien. Tapi jika strategi itu justru membuat klien terjerat, siapa yang bertanggung jawab?

Sebagai advokat, kami dibekali dengan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). Di sana tertulis jelas: advokat wajib menjaga kehormatan profesi, tidak boleh menyesatkan klien, dan harus bertindak jujur serta bertanggung jawab.

Namun, ketika advokat lebih sibuk membangun citra di media sosial ketimbang membangun strategi hukum yang matang, maka yang dikorbankan bukan hanya klien—tapi juga martabat profesi.

Pertanyaan “siapa yang benar” antara Eggi dan Ahmad bukan soal siapa yang lebih keras bersuara, tapi siapa yang lebih taat pada etika. Hukum bukan panggung sandiwara, dan klien bukan boneka dalam drama ego.

Sebagai advokat, kami bukan hanya pembela hukum, tapi juga penjaga nurani. Jika kami gagal menjaga itu, maka kami tak lebih dari penjual jasa yang memperdagangkan nasib manusia.

Karena dalam dunia hukum, yang paling berbahaya bukanlah jaksa yang menuntut, tapi advokat yang lupa siapa yang ia bela.

 

Oleh; Seorang Advokat yang masih percaya pada nurani

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#etikaadvokat #hukumuntukrakyat #belabukanjerumuskan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar