Kamis, 11 Desember 2025

“Rakyat Bersuara”; Ketika Demokrasi Menjadi Dagelan Prime Time

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Banyak masyarakat menilai acara “Rakyat Bersuara” tidak mendidik karena lebih menonjolkan sensasi, konflik verbal, dan provokasi dibandingkan edukasi publik yang berlandaskan etika dan hukum. Format acara yang menyerupai ring tinju verbal dinilai mengaburkan nilai-nilai demokrasi dan mencederai prinsip diskusi yang sehat.

Di layar kaca, demokrasi tampil dalam balutan jas formal, mikrofon mengilap, dan sorotan lampu studio. Tapi di balik itu, ada yang mengganjal: mengapa acara Rakyat Bersuara yang dipandu Aiman Witjaksono justru menuai kritik sebagai tontonan yang “tidak mendidik”? Sebagai advokat, saya merasa perlu mengupasnya—bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengedukasi.

Acara Rakyat Bersuara seharusnya menjadi ruang publik untuk menyuarakan keresahan rakyat. Namun, yang sering terjadi adalah adu mulut, saling interupsi, dan debat yang lebih mirip pertarungan UFC ketimbang diskusi ilmiah. Dalam salah satu episode yang viral, Aiman terlibat adu argumen panas dengan Ferry Irwandi soal akun “Fufufafa” yang dikaitkan dengan Wakil Presiden. Alih-alih mengurai fakta, acara justru berubah menjadi ajang saling serang personal.

Aiman sendiri pernah menyatakan bahwa “jurnalis haram bersikap netral” dan bahwa acara televisi membutuhkan unsur hiburan agar tidak membosankan. Pernyataan ini, meski jujur, membuka tabir bahwa edukasi publik telah dikorbankan demi rating.

Dalam dunia hukum, debat publik harus tunduk pada prinsip fair hearing dan freedom of expression yang berimbang. Namun, ketika narasumber dipotong, disudutkan, atau bahkan diprovokasi, maka yang terjadi bukan lagi diskusi, melainkan pembunuhan karakter.

Kode Etik Jurnalistik Indonesia menekankan bahwa jurnalis wajib menyajikan informasi secara berimbang dan tidak beritikad buruk. Jika seorang host justru menjadi aktor utama dalam memprovokasi narasumber, maka ia telah melangkahi batas antara moderator dan gladiator.

Acara ini seolah menjadi satire dari demokrasi itu sendiri. Di satu sisi, ia mengklaim memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara. Di sisi lain, suara itu dibingkai dalam narasi yang sudah dikurasi, dipotong, dan disulap menjadi drama. Seperti kata pepatah: “Jika debat menjadi hiburan, maka kebenaran hanyalah properti panggung.”

Masyarakat yang cerdas mulai sadar. Mereka tak lagi ingin disuguhi debat kosong yang hanya memanaskan emosi tanpa memberi solusi. Mereka ingin edukasi, bukan sensasi.

Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus hadir di ruang publik, termasuk televisi. Tapi kehadiran itu harus membawa pencerahan, bukan keributan. Talkshow hukum seharusnya menjadi ruang edukasi: menjelaskan pasal, mengurai kasus, dan membangun kesadaran hukum masyarakat.

Jika acara seperti Rakyat Bersuara terus dibiarkan tanpa koreksi, maka kita sedang membiarkan generasi muda belajar bahwa berteriak lebih penting daripada berpikir.

Suara rakyat adalah nyanyian demokrasi. Tapi jika suara itu hanya dijadikan latar musik untuk drama televisi, maka kita sedang menari di atas puing-puing etika. Mari kita kembalikan makna pada diskusi publik. Karena suara rakyat bukan untuk dijual, tapi untuk didengar.

 

#shdariusleka #jangkarkeadilan #rakyatbersuara #edukasihukum #reels #foryou #fyp #advokatberbicara @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar