JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Pernyataan Rustam Effendi soal “mulut dan kacamata” dalam gelar perkara ijazah Jokowi mencerminkan upaya mempertahankan tuduhan meski bukti fisik telah ditunjukkan. Ini membuka ruang diskusi tentang batas antara kritik, fitnah, dan tanggung jawab hukum dalam demokrasi.
Di ruang sidang gelar perkara khusus Polda Metro Jaya, Senin 15 Desember
2025, udara terasa lebih tebal dari biasanya. Bukan karena pendingin ruangan
rusak, tapi karena atmosfer yang sarat ketegangan. Di hadapan penyidik,
pengawas eksternal, dan para tersangka, termasuk Roy Suryo dan Rustam Effendi,
ijazah asli Presiden Joko Widodo dari Universitas Gadjah Mada diperlihatkan.
Namun, alih-alih mengakhiri polemik, Rustam Effendi justru melontarkan
kalimat yang kini viral:
“Ijazah ini palzu, itu bukan foto Pak Jokowi. Lihat saja mulutnya dan
kacamatanya.”
Seketika, ruang sidang berubah menjadi panggung drama. Bukan karena kekuatan
bukti, tapi karena kekuatan persepsi.
Polda Metro Jaya telah menyatakan secara resmi bahwa ijazah tersebut asli,
didukung oleh 709 dokumen pendukung dan kehadiran perwakilan UGM. Namun, Rustam
Effendi tetap bersikukuh bahwa foto dalam ijazah tersebut bukan milik Presiden
Jokowi. Ia mendasarkan klaimnya pada “perbedaan bentuk mulut dan kacamata”.
Sebagai advokat, saya harus bertanya: apakah bentuk mulut dan
kacamata bisa menjadi dasar hukum untuk menyatakan dokumen negara sebagai
palsu?
Tentu tidak.
Dalam hukum pidana, tuduhan pemalsuan dokumen harus dibuktikan dengan alat
bukti yang sah: dokumen pembanding, saksi ahli, atau uji forensik. Bukan
sekadar opini visual yang bersifat subjektif.
Pernyataan seperti yang dilontarkan Rustam Effendi bisa masuk dalam wilayah delik
aduan, khususnya Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik,
serta Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika disebarkan melalui media elektronik.
Polda Metro Jaya sendiri telah menegaskan bahwa status hukum Roy Suryo Cs
sebagai tersangka tetap berlaku, dan penyidikan akan dilanjutkan sesuai fakta
hukum.
Kita tentu menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Tapi kebebasan itu bukan
tiket untuk menyebar tuduhan tanpa dasar. Demokrasi bukan berarti bebas dari
tanggung jawab. Ketika kritik berubah menjadi fitnah, maka hukum harus hadir
bukan untuk membungkam, tapi untuk menegakkan batas.
Karena jika tidak, kita akan hidup dalam dunia di mana “bentuk mulut” lebih
dipercaya daripada dokumen resmi negara.
Pernyataan seperti “lihat kacamatanya” mungkin terdengar lucu di media
sosial. Tapi dalam hukum, itu bukan lelucon. Itu bisa menjadi bukti niat jahat,
atau setidaknya, ketidakpahaman akan batas antara opini dan delik.
Dan bagi masyarakat, ini menjadi pelajaran penting: kritiklah dengan
data, bukan dengan dugaan. Karena hukum tak mengenal satire sebagai pembelaan.
Adv. Darius Leka, S.H. - Advokat & Pendiri #DarkaLawOffice
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #ijazahjokowi
#edukasihukum #fitnahbukanfakta #darkalawoffice #shdariusleka #jangkarkeadilan
#foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar