JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Pernyataan Menteri Abdul Mu’ti bahwa “guru tanpa penguasaan digital tak layak mengajar” memicu respons beragam dari para pendidik di seluruh Indonesia—antara tuntutan profesionalisme dan realitas ketimpangan akses teknologi.
Di tengah gegap gempita Hari Guru Nasional 2025, sebuah
pernyataan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, mengguncang
ruang-ruang guru dari Sabang sampai Merauke:
“Guru tanpa penguasaan digital dinilai tak layak mengajar.”
Kalimat itu meluncur seperti peluru: tajam, cepat, dan
menghantam langsung ke jantung profesi guru. Di satu sisi, ia adalah seruan
untuk kemajuan. Di sisi lain, ia terdengar seperti vonis bagi mereka yang masih
gagap teknologi.
Abdul Mu’ti menegaskan bahwa penguasaan teknologi bukan lagi
nilai tambah, melainkan syarat mutlak. Guru yang tak mampu mengintegrasikan
teknologi dalam pembelajaran dianggap tak relevan dengan kebutuhan zaman.
Namun, apakah semua guru di Indonesia punya akses dan
pelatihan yang memadai?
Tanggapan dari Lapangan
- Guru
di kota besar menyambut baik pernyataan ini.
Mereka sudah terbiasa dengan platform digital, LMS, dan aplikasi pembelajaran
daring. “Kami siap. Tapi jangan lupa, kesiapan kami juga karena ada
dukungan infrastruktur,” ujar seorang guru SMA di Jakarta.
- Guru
di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) merasa pernyataan itu seperti tamparan. “Kami bahkan
masih rebutan sinyal. Laptop pun beli sendiri. Lalu kami dibilang tak
layak?” keluh seorang guru SD di Nusa Tenggara Timur.
- Guru
senior merasa teralienasi. “Kami
bukan tak mau belajar, tapi pendekatannya harus manusiawi. Jangan langsung
dicap tak layak,” ujar seorang guru pensiunan yang masih aktif mengajar di
Jawa Tengah.
Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 8
menyebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan
sertifikat pendidik. Kompetensi itu meliputi pedagogik, kepribadian, sosial,
dan profesional.
Kini, dengan perkembangan zaman, kompetensi digital
mulai dianggap sebagai bagian dari kompetensi profesional. Namun, belum ada
regulasi eksplisit yang menyatakan bahwa guru yang tidak menguasai teknologi
otomatis kehilangan kelayakan mengajar.
Artinya, pernyataan Abdul Mu’ti lebih bersifat normatif dan
politis—sebuah dorongan untuk reformasi, bukan ketetapan hukum.
Bayangkan seorang guru di pelosok, mengajar dengan papan
tulis reyot, kapur yang tinggal separuh, dan murid yang datang tanpa sepatu.
Lalu datang surat edaran: “Anda harus menguasai AI, coding, dan LMS.” Ia
tersenyum pahit. “Sinyal saja kami cari di atas pohon.”
Pernyataan Menteri Abdul Mu’ti adalah cambuk yang perlu.
Tapi cambuk tanpa jembatan hanya akan meninggalkan luka. Jika negara ingin guru
melek digital, maka negara juga harus menyediakan pelatihan, perangkat, dan
infrastruktur.
Karena guru bukan sekadar pengajar. Mereka adalah penjaga
masa depan. Dan masa depan tak bisa dibangun hanya dengan tuntutan, tapi juga
dengan dukungan.
Adv. Darius Leka, S.H. - Advokat & Penggagas #JangkarKeadilan
#shdariusleka #jangkarkeadilan #darkalawoffice #foryou #fyp #edukasihukum
#gurumerdeka #digitalisasi #pendidikanindonesia #guruindonesia #menteripendidikan #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar