Minggu, 21 Desember 2025

“Roti, Rupiah, dan Rasa Malu; Ketika Nenek Ditolak Bayar Tunai di Negeri Sendiri”

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Menolak pembayaran tunai di Indonesia melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kasus viral nenek yang ditolak membayar tunai di gerai Roti’O Jakarta menjadi pengingat penting bahwa Rupiah adalah alat pembayaran sah yang wajib diterima.

Di sebuah halte Transjakarta di Jakarta, seorang nenek berdiri dengan selembar uang tunai di tangan. Ia ingin membeli roti. Namun, kasir gerai Roti’O menolak uangnya. “Kami hanya terima QRIS, Bu,” katanya. Di belakangnya, seorang pria muda menyaksikan kejadian itu. Ia tak tinggal diam. Ia protes keras. Videonya viral. Dan publik pun terbelah: antara modernisasi dan hak konstitusional.

Peristiwa ini terjadi pada Desember 2025 di gerai Roti’O Halte Monas. Seorang lansia ditolak bertransaksi karena tidak memiliki QRIS. Seorang pria bernama Arlius Zebua memprotes keras kebijakan tersebut. Video itu menyebar cepat di media sosial, memicu perdebatan nasional tentang hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan:

  • Pasal 21 ayat (1): “Setiap orang wajib menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI.”
  • Pasal 23 ayat (1): “Setiap orang yang menolak Rupiah dapat dikenai pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.”

Artinya, menolak pembayaran tunai dengan Rupiah adalah pelanggaran hukum. QRIS boleh digunakan, tapi tidak boleh menjadi satu-satunya metode pembayaran.

Bank Indonesia menegaskan bahwa pelaku usaha wajib menerima Rupiah dalam bentuk tunai. QRIS adalah alternatif, bukan pengganti. Sementara itu, manajemen Roti’O menyampaikan permintaan maaf dan menyatakan akan melakukan evaluasi internal atas insiden tersebut.

Kita hidup di zaman di mana roti bisa dibeli dengan ponsel pintar, tapi tidak dengan uang kertas. Ironis, bukan? Di negeri yang mencetak Rupiah, justru uangnya sendiri ditolak. Seolah-olah, modernisasi telah mengorbankan kemanusiaan dan hukum.

Sebagai advokat, saya mengingatkan: Rupiah bukan sekadar alat tukar, tapi simbol kedaulatan. Menolaknya berarti menolak negara. Dan ketika seorang nenek ditolak hanya karena tak punya QRIS, maka yang tercoreng bukan hanya wajah toko, tapi juga wajah hukum.

 

Ditulis oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan Pemerhati Hukum Transaksi Keuangan, Dipublikasikan di: jangkarkeadilan.blogspot.com

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas #rupiahberdaulat #qrisbukansatusatunya #hukumuntuksemua #advokatbersuara @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar