JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Menolak pembayaran tunai di Indonesia melanggar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Kasus viral nenek yang ditolak membayar tunai di gerai Roti’O Jakarta menjadi pengingat penting bahwa Rupiah adalah alat pembayaran sah yang wajib diterima.
Di sebuah halte Transjakarta di Jakarta, seorang nenek
berdiri dengan selembar uang tunai di tangan. Ia ingin membeli roti. Namun,
kasir gerai Roti’O menolak uangnya. “Kami hanya terima QRIS, Bu,” katanya. Di
belakangnya, seorang pria muda menyaksikan kejadian itu. Ia tak tinggal diam.
Ia protes keras. Videonya viral. Dan publik pun terbelah: antara modernisasi
dan hak konstitusional.
Peristiwa ini terjadi pada Desember 2025 di gerai Roti’O
Halte Monas. Seorang lansia ditolak bertransaksi karena tidak memiliki QRIS.
Seorang pria bernama Arlius Zebua memprotes keras kebijakan tersebut. Video itu
menyebar cepat di media sosial, memicu perdebatan nasional tentang hak konsumen
dan kewajiban pelaku usaha.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
menyatakan:
- Pasal
21 ayat (1): “Setiap orang wajib
menggunakan Rupiah dalam setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI.”
- Pasal
23 ayat (1): “Setiap orang yang menolak
Rupiah dapat dikenai pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp200 juta.”
Artinya, menolak pembayaran tunai dengan Rupiah adalah
pelanggaran hukum. QRIS boleh digunakan, tapi tidak boleh menjadi
satu-satunya metode pembayaran.
Bank Indonesia menegaskan bahwa pelaku usaha wajib
menerima Rupiah dalam bentuk tunai. QRIS adalah alternatif, bukan
pengganti. Sementara itu, manajemen Roti’O menyampaikan permintaan maaf dan
menyatakan akan melakukan evaluasi internal atas insiden tersebut.
Kita hidup di zaman di mana roti bisa dibeli dengan ponsel
pintar, tapi tidak dengan uang kertas. Ironis, bukan? Di negeri yang mencetak
Rupiah, justru uangnya sendiri ditolak. Seolah-olah, modernisasi telah
mengorbankan kemanusiaan dan hukum.
Sebagai advokat, saya mengingatkan: Rupiah bukan sekadar
alat tukar, tapi simbol kedaulatan. Menolaknya berarti menolak negara. Dan
ketika seorang nenek ditolak hanya karena tak punya QRIS, maka yang tercoreng
bukan hanya wajah toko, tapi juga wajah hukum.
Ditulis oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan
Pemerhati Hukum Transaksi Keuangan, Dipublikasikan di:
jangkarkeadilan.blogspot.com
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp
#jangkauanluas #rupiahberdaulat #qrisbukansatusatunya #hukumuntuksemua #advokatbersuara
@semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar