Minggu, 21 Desember 2025

“Ketika Pakar Tak Bersertifikat; Antara Kebenaran, Keahlian, dan Etika Hukum”

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di negeri yang gemar debat dan penuh tafsir, kebenaran sering kali bukan soal fakta, melainkan siapa yang menyuarakannya. Dalam pusaran polemik ijazah Presiden Joko Widodo, tiga nama kembali mencuat: Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma alias Tifa. Mereka mengklaim menemukan kejanggalan dalam dokumen akademik sang kepala negara. Namun, Polda Metro Jaya menyatakan tegas: ketiganya tidak memiliki sertifikasi keahlian yang sah.

Pernyataan ini bukan sekadar klarifikasi hukum, melainkan alarm keras bagi publik: bahwa tidak semua yang mengaku “pakar” benar-benar ahli. Dan dalam hukum, keahlian bukan sekadar opini, tapi harus terverifikasi.

Dalam proses hukum, keterangan ahli memiliki bobot khusus. Pasal 186 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli adalah pernyataan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara.

Namun, untuk diakui sebagai ahli, seseorang harus memenuhi syarat:

  • Latar belakang akademik atau profesional di bidang terkait.
  • Sertifikasi atau pengakuan dari lembaga resmi.
  • Rekam jejak keilmuan atau pengalaman yang dapat diverifikasi.

Tanpa itu, keterangan yang diberikan hanya dianggap sebagai opini pribadi, bukan keterangan ahli yang sah menurut hukum.

Roy Suryo, misalnya, kerap menyebut dirinya sebagai “pakar telematika”. Namun, dasar keahliannya lebih banyak bersandar pada pengakuan informal dan jabatan politik, bukan pada sertifikasi profesional.

Fakta hukum:

  • Surat Keputusan (SK) Menteri adalah produk administratif, bukan sertifikat keahlian.
  • SK tidak melalui proses uji kompetensi atau akreditasi profesi.
  • SK berlaku terbatas pada masa jabatan dan tidak bersifat universal.

Dengan demikian, klaim keahlian berbasis SK adalah bentuk penyimpangan administratif yang bisa menyesatkan publik.

Dalam dunia akademik dan hukum, kebebasan berpendapat dijunjung tinggi. Namun, kebebasan itu harus dibarengi dengan tanggung jawab etik. Mengklaim diri sebagai ahli tanpa dasar yang sah bukan hanya menyesatkan, tetapi juga mencederai integritas profesi dan proses hukum.

Sebagai advokat, saya percaya bahwa:

  • Keahlian harus diuji, bukan diakui sendiri.
  • Keterangan ahli harus objektif, bukan politis.
  • Etika keilmuan adalah fondasi kepercayaan publik.

Di era media sosial, siapa pun bisa jadi pakar. Cukup punya akun, bicara lantang, dan punya pengikut. Tapi di ruang sidang, yang dibutuhkan bukan suara keras, melainkan kompetensi yang terverifikasi. Maka jangan heran jika hakim lebih percaya pada ahli bersertifikat daripada “influencer hukum”.

Polemik ijazah Presiden Jokowi seharusnya menjadi pelajaran penting: bahwa dalam hukum, kebenaran tidak bisa dibangun di atas opini tanpa dasar. Dan bahwa keahlian bukan soal pengakuan, tapi soal pembuktian.

Mari kita jaga marwah hukum dan keilmuan. Karena ketika pakar dipertanyakan, yang terancam bukan hanya perkara, tapi juga kepercayaan publik terhadap keadilan.

 

Ditulis oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan Pemerhati Etika Hukum Publik, Dipublikasikan di: jangkarkeadilan.blogspot.com

#ahlibersertifikat #etikakeilmuan #roysuryovshukum #ijazahpresiden #advokatbersuara #edukasihukumpublik #darkalawoffice #shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar