Jumat, 19 Desember 2025

“Saweran Beracun”; Ketika Ujaran Kebencian Dijadikan Komoditas

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — YouTuber Resbob menghina suku Sunda saat live streaming demi saweran dan popularitas. Tindakan ini bukan hanya mencederai etika, tapi juga melanggar hukum pidana. Sebagai advokat, saya mengajak publik memahami bahwa kebebasan berekspresi bukanlah tiket untuk menistakan identitas orang lain.

Di era digital, panggung tak lagi di gedung pertunjukan. Ia ada di layar ponsel, di balik kamera, di ruang streaming. Dan di sana, seorang YouTuber bernama Resbob—nama asli Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan—memilih menjadikan ujaran kebencian sebagai konten. Targetnya: suku Sunda. Motifnya: saweran.

Kapolda Jawa Barat mengungkap bahwa Resbob sengaja melontarkan hinaan terhadap suku Sunda saat live streaming agar penontonnya “menyawer” lebih banyak. Sebuah strategi yang menjijikkan, namun nyata: menjual kebencian demi recehan digital.

Sebagai advokat, saya tegaskan: tindakan Resbob bukan sekadar tidak etis—ia melanggar hukum. Ia dijerat dengan pasal berlapis, termasuk:

  • Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE: menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan SARA.
  • Pasal 156 KUHP: menyatakan kebencian terhadap suatu golongan di muka umum.

Ancaman hukumannya? Hingga 6 tahun penjara.

Resbob bukan satu-satunya. Ia hanya satu dari banyak “konten kreator” yang menjadikan provokasi sebagai strategi monetisasi. Dalam ekosistem digital yang menghargai sensasi lebih dari substansi, algoritma menjadi dewa, dan moralitas menjadi korban.

Saweran, yang awalnya bentuk apresiasi, kini berubah menjadi insentif untuk merusak. Semakin kontroversial, semakin viral. Semakin menghina, semakin cuan.

Suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah bagian dari identitas yang dilindungi konstitusi. Ketika seseorang menghina suku tertentu, ia bukan hanya menyerang individu, tapi juga merusak tenun kebangsaan.

Sebagai bangsa yang menjunjung Bhinneka Tunggal Ika, kita tak boleh membiarkan ujaran kebencian menjadi tontonan. Karena jika dibiarkan, ia akan menjadi kebiasaan. Dan dari kebiasaan, lahirlah kebencian yang sistemik.

Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus menjadi pagar bagi kebebasan berekspresi. Bukan untuk membungkam, tapi untuk menjaga agar ekspresi tak berubah menjadi ekspresi kebencian.

Kepada para kreator konten: jadilah cerdas, bukan hanya ceriwis. Kepada publik: jangan beri panggung pada kebodohan. Dan kepada negara: jangan ragu menegakkan hukum, bahkan di dunia maya. (Adv. Darius Leka, S.H.)

 

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #hukumuntukrakyat #stopujarankebencian #kontenbermoral #saweranbukanalasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar