JANGKARKEADILAN, JAKARTA — YouTuber Resbob menghina suku Sunda saat live streaming demi saweran dan popularitas. Tindakan ini bukan hanya mencederai etika, tapi juga melanggar hukum pidana. Sebagai advokat, saya mengajak publik memahami bahwa kebebasan berekspresi bukanlah tiket untuk menistakan identitas orang lain.
Di era digital, panggung tak lagi di gedung pertunjukan. Ia
ada di layar ponsel, di balik kamera, di ruang streaming. Dan di sana, seorang
YouTuber bernama Resbob—nama asli Muhammad Adimas Firdaus Putra Nasihan—memilih
menjadikan ujaran kebencian sebagai konten. Targetnya: suku Sunda. Motifnya:
saweran.
Kapolda Jawa Barat mengungkap bahwa Resbob sengaja
melontarkan hinaan terhadap suku Sunda saat live streaming agar penontonnya
“menyawer” lebih banyak. Sebuah strategi yang menjijikkan, namun nyata: menjual
kebencian demi recehan digital.
Sebagai advokat, saya tegaskan: tindakan Resbob bukan
sekadar tidak etis—ia melanggar hukum. Ia dijerat dengan pasal berlapis,
termasuk:
- Pasal
28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE: menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian berdasarkan
SARA.
- Pasal
156 KUHP: menyatakan kebencian terhadap
suatu golongan di muka umum.
Ancaman hukumannya? Hingga 6 tahun penjara.
Resbob bukan satu-satunya. Ia hanya satu dari banyak “konten
kreator” yang menjadikan provokasi sebagai strategi monetisasi. Dalam ekosistem
digital yang menghargai sensasi lebih dari substansi, algoritma menjadi dewa,
dan moralitas menjadi korban.
Saweran, yang awalnya bentuk apresiasi, kini berubah menjadi
insentif untuk merusak. Semakin kontroversial, semakin viral. Semakin menghina,
semakin cuan.
Suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) adalah bagian
dari identitas yang dilindungi konstitusi. Ketika seseorang menghina suku
tertentu, ia bukan hanya menyerang individu, tapi juga merusak tenun
kebangsaan.
Sebagai bangsa yang menjunjung Bhinneka Tunggal Ika, kita
tak boleh membiarkan ujaran kebencian menjadi tontonan. Karena jika dibiarkan,
ia akan menjadi kebiasaan. Dan dari kebiasaan, lahirlah kebencian yang
sistemik.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus menjadi
pagar bagi kebebasan berekspresi. Bukan untuk membungkam, tapi untuk menjaga
agar ekspresi tak berubah menjadi ekspresi kebencian.
Kepada para kreator konten: jadilah cerdas, bukan hanya
ceriwis. Kepada publik: jangan beri panggung pada kebodohan. Dan kepada negara:
jangan ragu menegakkan hukum, bahkan di dunia maya. (Adv. Darius Leka, S.H.)
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp
#jangkauanluas @semuaorang #hukumuntukrakyat #stopujarankebencian
#kontenbermoral #saweranbukanalasan

Tidak ada komentar:
Posting Komentar