JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Bonatua Silalahi meminta Sekda DKI Jakarta dihadirkan dalam sidang sengketa informasi ijazah Presiden Jokowi karena ia meyakini Sekda memiliki peran penting dalam penciptaan dan penyimpanan dokumen administratif saat Jokowi menjabat Gubernur DKI. Permintaan ini menjadi simbol pertarungan antara hak atas informasi dan batas-batas kewenangan birokrasi.
Di negeri yang gemar menjadikan dokumen sebagai drama, selembar ijazah bisa
lebih panas dari debat capres. Kali ini, bukan Roy Suryo atau Rismon Sianipar
yang bersuara, melainkan Bonatua Silalahi—pakar kebijakan publik yang menggugat
Pemprov DKI Jakarta melalui Komisi Informasi Provinsi. Ia menuntut transparansi
atas dokumen ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, saat mencalonkan diri
sebagai Gubernur DKI.
Namun, bukan hanya dokumen yang ia minta. Ia juga meminta kehadiran
Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta di ruang sidang. Mengapa?
Dalam sidang ajudikasi non-litigasi di Komisi Informasi DKI Jakarta, Bonatua
menyatakan bahwa Sekda DKI adalah pihak yang paling tahu soal proses
administratif pencalonan gubernur, termasuk dokumen yang diserahkan ke KPUD. Ia
ingin bertanya langsung: apakah benar dokumen itu pernah disimpan? Siapa yang
memverifikasi? Apakah ada arsip pelantikan yang bisa dikonfirmasi?
Menurut logika hukum administrasi, Sekda sebagai pejabat tertinggi birokrasi
daerah memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan arsip dan dokumen resmi. Maka,
permintaan Bonatua bukan tanpa dasar—ia ingin menggali kebenaran dari sumber
primer, bukan dari juru bicara atau perwakilan PPID.
Permintaan Bonatua ditolak oleh Majelis Komisi Informasi. Ketua Majelis,
Agus Wijayanto, menyatakan bahwa kehadiran saksi atau ahli hanya akan
dipertimbangkan jika relevan dan dibutuhkan oleh majelis, bukan semata permintaan
pemohon.
Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai benturan antara dua prinsip hukum:
hak atas informasi publik sebagaimana dijamin UU Nomor 14 Tahun 2008,
dan kewenangan administratif lembaga negara. Ketika warga meminta
transparansi, negara wajib menjawab, bukan bersembunyi di balik prosedur.
Ironisnya, dalam negara demokrasi, terkadang yang paling sulit diakses
justru informasi yang seharusnya terbuka. Ketika rakyat bertanya, negara menjawab
dengan “itu bukan kewenangan saya”. Ketika rakyat meminta kejelasan, negara
menjawab dengan “silakan ajukan surat resmi”.
Apakah kita sedang hidup dalam republik yang takut pada pertanyaan?
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus menjadi lentera yang
menerangi jalan kebenaran, bukan tirai yang menutupi fakta. Permintaan Bonatua
untuk menghadirkan Sekda bukanlah bentuk persekusi, melainkan ekspresi dari hak
warga negara untuk tahu.
Jika negara percaya diri pada keabsahan dokumen dan prosesnya, maka mengapa
takut menjawab di ruang sidang? (Adv. Darius Leka, S.H.)
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas
@semuaorang #transparansibukanancaman #hukumuntukrakyat #ijazahdanintegritas
#sekdabukanpenonton

Tidak ada komentar:
Posting Komentar