Di tengah derasnya banjir dan longsor yang meluluhlantakkan
Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, bukan hanya rumah dan nyawa yang
hilang—tetapi juga harapan. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru
tampak gamang. Dan di tengah keheningan itu, Muhammadiyah bersuara lantang: “Jika
Presiden tak segera menetapkan status bencana nasional, kami akan tempuh jalur
hukum.”
Pernyataan ini datang dari Lembaga Bantuan Hukum dan
Advokasi Publik (LBH AP) PP Muhammadiyah. Sekretarisnya, Ikhwan Fahrojih,
menyatakan bahwa langkah hukum akan diambil karena skala kerusakan yang masif
dan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menangani dampak bencana.
Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai bentuk constitutional
check—pengingat bahwa negara tak boleh abai terhadap mandat
konstitusionalnya. Pasal 28G UUD 1945 menjamin hak atas perlindungan diri dan
rasa aman. Ketika negara lamban menetapkan status bencana nasional, maka
hak-hak itu terabaikan.
Penetapan status bencana nasional bukan sekadar simbolik. Ia
membuka akses terhadap:
- Mobilisasi
sumber daya nasional,
termasuk TNI, BNPB, dan kementerian teknis.
- Percepatan
bantuan logistik dan medis.
- Penghapusan
hambatan administratif yang
sering menghambat distribusi bantuan.
- Perlindungan
hukum bagi relawan dan penyintas.
Tanpa status ini, pemerintah daerah yang sudah lumpuh tak
bisa berbuat banyak. Maka, menunda penetapan sama saja dengan membiarkan rakyat
bertarung sendiri melawan lumpur dan air bah.
Ironisnya, negara sering cepat menetapkan status darurat
untuk hal-hal yang mengancam stabilitas politik, tapi lamban ketika rakyatnya
tenggelam dalam bencana. Apakah karena Sumatera jauh dari pusat kekuasaan? Atau
karena suara rakyat tak lagi nyaring di telinga penguasa?
Muhammadiyah, dengan sejarah panjangnya dalam pendidikan dan
kemanusiaan, tak sedang mencari panggung. Mereka sedang mengetuk pintu nurani
negara. Dan ketika pintu itu tertutup, hukum menjadi palu terakhir.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum bukan hanya soal
pasal, tapi soal rasa. Ketika rakyat menjerit dan negara diam, maka organisasi
masyarakat sipil wajib bersuara. Dan jika suara tak cukup, maka gugatan adalah
bentuk cinta yang paling keras kepada republik.
Karena dalam negara hukum, diamnya negara bisa digugat. Dan
dalam demokrasi, keadilan tak boleh tenggelam bersama banjir. (Adv. Darius
Leka, S.H.)
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp
#jangkauanluas @semuaorang
#negarahadiratautidak #sumateradarurat #hukumuntukkemanusiaan #muhammadiyahbersuara

Tidak ada komentar:
Posting Komentar