Jumat, 19 Desember 2025

Muhammadiyah, Bencana, dan Negara yang Terlambat Hadir; Ketika Jalur Hukum Menjadi Jalan Nurani

JANGKARKEADILAN, JAKARTA —
Muhammadiyah mengancam menempuh jalur hukum jika Presiden Prabowo tak segera menetapkan status bencana nasional atas banjir bandang dan longsor di Sumatera. Ini bukan sekadar desakan moral, tapi bentuk gugatan konstitusional atas lambannya negara dalam menjamin keselamatan warganya.

Di tengah derasnya banjir dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, bukan hanya rumah dan nyawa yang hilang—tetapi juga harapan. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung, justru tampak gamang. Dan di tengah keheningan itu, Muhammadiyah bersuara lantang: “Jika Presiden tak segera menetapkan status bencana nasional, kami akan tempuh jalur hukum.”

Pernyataan ini datang dari Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBH AP) PP Muhammadiyah. Sekretarisnya, Ikhwan Fahrojih, menyatakan bahwa langkah hukum akan diambil karena skala kerusakan yang masif dan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menangani dampak bencana.

Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai bentuk constitutional check—pengingat bahwa negara tak boleh abai terhadap mandat konstitusionalnya. Pasal 28G UUD 1945 menjamin hak atas perlindungan diri dan rasa aman. Ketika negara lamban menetapkan status bencana nasional, maka hak-hak itu terabaikan.

Penetapan status bencana nasional bukan sekadar simbolik. Ia membuka akses terhadap:

  • Mobilisasi sumber daya nasional, termasuk TNI, BNPB, dan kementerian teknis.
  • Percepatan bantuan logistik dan medis.
  • Penghapusan hambatan administratif yang sering menghambat distribusi bantuan.
  • Perlindungan hukum bagi relawan dan penyintas.

Tanpa status ini, pemerintah daerah yang sudah lumpuh tak bisa berbuat banyak. Maka, menunda penetapan sama saja dengan membiarkan rakyat bertarung sendiri melawan lumpur dan air bah.

Ironisnya, negara sering cepat menetapkan status darurat untuk hal-hal yang mengancam stabilitas politik, tapi lamban ketika rakyatnya tenggelam dalam bencana. Apakah karena Sumatera jauh dari pusat kekuasaan? Atau karena suara rakyat tak lagi nyaring di telinga penguasa?

Muhammadiyah, dengan sejarah panjangnya dalam pendidikan dan kemanusiaan, tak sedang mencari panggung. Mereka sedang mengetuk pintu nurani negara. Dan ketika pintu itu tertutup, hukum menjadi palu terakhir.

Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum bukan hanya soal pasal, tapi soal rasa. Ketika rakyat menjerit dan negara diam, maka organisasi masyarakat sipil wajib bersuara. Dan jika suara tak cukup, maka gugatan adalah bentuk cinta yang paling keras kepada republik.

Karena dalam negara hukum, diamnya negara bisa digugat. Dan dalam demokrasi, keadilan tak boleh tenggelam bersama banjir. (Adv. Darius Leka, S.H.)

 

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#negarahadiratautidak #sumateradarurat #hukumuntukkemanusiaan #muhammadiyahbersuara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar