Minggu, 21 Desember 2025

Menembus Kabut Sengketa Tanah; Jalan Terjal Menuju Keadilan Agraria

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di negeri agraris ini, tanah bukan sekadar hamparan bumi. Ia adalah pusaka, identitas, dan sumber kehidupan. Namun, ironisnya, ia juga menjadi sumber konflik yang tak kunjung padam. Sengketa tanah di Indonesia ibarat api dalam sekam—kadang membara, kadang membisu, tapi selalu menyala.

Sebagai advokat yang telah menapaki lorong-lorong pengadilan dan lorong-lorong desa, saya menyaksikan sendiri betapa peliknya menyelesaikan sengketa tanah. Maka, tulisan ini bukan sekadar teori, tapi juga refleksi dari praktik hukum yang saya jalani.

Sengketa tanah bisa muncul dari berbagai sebab:

  • Warisan tanpa dokumen: Tanah diwariskan turun-temurun tanpa sertifikat, hanya berbekal “kata orang tua”.
  • Tumpang tindih sertifikat: Dua pihak memegang sertifikat atas bidang tanah yang sama.
  • Penguasaan tanpa hak: Tanah negara atau milik orang lain dikuasai tanpa dasar hukum.
  • Mafia tanah: Sindikat yang memalsukan dokumen dan “menguasai” tanah secara legalitas semu.
  • Konflik dengan pemerintah: Penggusuran, pengadaan lahan, atau proyek strategis nasional yang menyingkirkan warga.

Jalan Hukum: Menyibak Jalur Penyelesaian Sengketa

A. Mediasi di Kantor Pertanahan (BPN)

Langkah awal yang disarankan adalah mediasi di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2016, BPN memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa administratif.

  • Keunggulan: Cepat, murah, dan non-litigasi.
  • Kelemahan: Tidak mengikat secara hukum jika salah satu pihak tidak patuh.

Jika mediasi gagal, maka jalur litigasi menjadi pilihan. Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri sesuai lokasi objek sengketa.

  • Dasar hukum: Pasal 118 HIR dan Pasal 1365 KUHPerdata.
  • Langkah:
  1. Menyusun surat gugatan.
  2. Mendaftarkan ke PN.
  3. Proses persidangan: mediasi, pembuktian, saksi, putusan.
  4. Upaya hukum: banding, kasasi, PK.

Jika terdapat pemalsuan dokumen, penyerobotan, atau penipuan, maka jalur pidana dapat ditempuh.

  • Pasal 263 KUHP: Pemalsuan surat.
  • Pasal 385 KUHP: Penyerobotan tanah.

Namun, perlu dicatat: proses pidana tidak menyelesaikan status hak atas tanah, hanya menghukum pelaku.

Dalam sengketa tanah, advokat bukan sekadar pembela di pengadilan. Ia adalah penafsir dokumen, penelusur sejarah tanah, negosiator, bahkan kadang menjadi detektif hukum. Kami harus membaca peta bidang, menelusuri riwayat girik, memverifikasi warkah, hingga mengendus aroma busuk permainan mafia.

“Negara menjamin kepastian hukum atas tanah,” kata UUPA. Tapi di lapangan, sertifikat bisa digandakan, dijual dua kali, bahkan dicabut sepihak. Maka, jangan heran jika rakyat kecil bertanya: “Apa gunanya sertifikat kalau tanahku tetap bisa direbut?”

Sengketa tanah bukan sekadar soal hukum, tapi juga soal keadilan sosial. Negara harus hadir bukan sebagai pemilik tunggal, tapi sebagai pengatur yang adil. Dan masyarakat, harus melek hukum, agar tak mudah ditipu atau ditindas.

Sebagai advokat, saya percaya: tanah adalah hak hidup. Dan memperjuangkannya adalah bagian dari ibadah.

 

Ditulis oleh; Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan Pemerhati Hukum Agraria, Dipublikasikan di: jangkarkeadilan.blogspot.com

#tanahuntukrakyat #sengketatanah #hukumagraria #advokatbersuara #jangantakutgugat #darkalawoffice #shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar