JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di negeri agraris ini, tanah bukan sekadar hamparan bumi. Ia adalah pusaka, identitas, dan sumber kehidupan. Namun, ironisnya, ia juga menjadi sumber konflik yang tak kunjung padam. Sengketa tanah di Indonesia ibarat api dalam sekam—kadang membara, kadang membisu, tapi selalu menyala.
Sebagai advokat yang telah menapaki lorong-lorong pengadilan
dan lorong-lorong desa, saya menyaksikan sendiri betapa peliknya menyelesaikan
sengketa tanah. Maka, tulisan ini bukan sekadar teori, tapi juga refleksi dari
praktik hukum yang saya jalani.
Sengketa tanah bisa muncul dari berbagai sebab:
- Warisan
tanpa dokumen: Tanah diwariskan
turun-temurun tanpa sertifikat, hanya berbekal “kata orang tua”.
- Tumpang
tindih sertifikat: Dua
pihak memegang sertifikat atas bidang tanah yang sama.
- Penguasaan
tanpa hak: Tanah negara atau milik orang
lain dikuasai tanpa dasar hukum.
- Mafia
tanah: Sindikat yang memalsukan
dokumen dan “menguasai” tanah secara legalitas semu.
- Konflik
dengan pemerintah:
Penggusuran, pengadaan lahan, atau proyek strategis nasional yang
menyingkirkan warga.
Jalan
Hukum: Menyibak Jalur Penyelesaian Sengketa
A. Mediasi di Kantor Pertanahan (BPN)
Langkah awal yang disarankan adalah mediasi di Kantor
Pertanahan. Berdasarkan Permen ATR/BPN Nomor 11 Tahun 2016, BPN memiliki
kewenangan menyelesaikan sengketa administratif.
- Keunggulan: Cepat, murah, dan non-litigasi.
- Kelemahan: Tidak mengikat secara hukum jika salah satu pihak
tidak patuh.
Jika mediasi gagal, maka jalur litigasi menjadi pilihan.
Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri sesuai lokasi objek sengketa.
- Dasar
hukum: Pasal 118 HIR dan Pasal 1365
KUHPerdata.
- Langkah:
- Menyusun
surat gugatan.
- Mendaftarkan
ke PN.
- Proses
persidangan: mediasi, pembuktian, saksi, putusan.
- Upaya
hukum: banding, kasasi, PK.
Jika terdapat pemalsuan dokumen, penyerobotan, atau
penipuan, maka jalur pidana dapat ditempuh.
- Pasal
263 KUHP: Pemalsuan surat.
- Pasal
385 KUHP: Penyerobotan tanah.
Namun, perlu dicatat: proses pidana tidak menyelesaikan
status hak atas tanah, hanya menghukum pelaku.
Dalam sengketa tanah, advokat bukan sekadar pembela di
pengadilan. Ia adalah penafsir dokumen, penelusur sejarah tanah, negosiator,
bahkan kadang menjadi detektif hukum. Kami harus membaca peta bidang,
menelusuri riwayat girik, memverifikasi warkah, hingga mengendus aroma busuk
permainan mafia.
“Negara menjamin kepastian hukum atas tanah,” kata UUPA.
Tapi di lapangan, sertifikat bisa digandakan, dijual dua kali, bahkan dicabut
sepihak. Maka, jangan heran jika rakyat kecil bertanya: “Apa gunanya
sertifikat kalau tanahku tetap bisa direbut?”
Sengketa tanah bukan sekadar soal hukum, tapi juga soal
keadilan sosial. Negara harus hadir bukan sebagai pemilik tunggal, tapi sebagai
pengatur yang adil. Dan masyarakat, harus melek hukum, agar tak mudah ditipu
atau ditindas.
Sebagai advokat, saya percaya: tanah adalah hak hidup. Dan
memperjuangkannya adalah bagian dari ibadah.
Ditulis oleh; Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan
Pemerhati Hukum Agraria, Dipublikasikan di: jangkarkeadilan.blogspot.com
#tanahuntukrakyat #sengketatanah #hukumagraria #advokatbersuara #jangantakutgugat
#darkalawoffice #shdariusleka #jangkarkeadilan #foryou #fyp #jangkauanluas
@semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar