JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Ilmu bukan sekadar kata, ia adalah tanggung jawab. Dan dalam tanggung jawab, ada hak orang lain yang harus dijaga.”
Polemik ijazah Presiden Joko Widodo kembali menyeruak ke permukaan, kali ini
lewat publikasi bertajuk Jokowi’s White Paper yang digagas oleh Roy
Suryo dan koleganya. Namun, alih-alih menjadi pencerahan akademik, karya
tersebut justru menuai kritik tajam dari aparat penegak hukum. Polda Metro Jaya
secara tegas menyatakan bahwa buku tersebut bukanlah produk akademik yang sahih,
melainkan sekadar kumpulan asumsi sepihak yang tidak memenuhi kaidah ilmiah.
Dalam dunia akademik, sebuah karya ilmiah harus tunduk pada prinsip-prinsip
metodologis yang ketat: objektivitas, validitas data, dan penghormatan terhadap
hak subjek penelitian. Sayangnya, menurut penyidik, Jokowi’s White Paper
gagal memenuhi ketiga syarat tersebut. Tidak ada uji validitas, tidak ada peer
review, dan yang paling fatal—tidak ada penghormatan terhadap hak dasar subjek,
dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Dalam konteks ini,
menyebarkan informasi yang belum terverifikasi dan bersifat menyerang pribadi,
apalagi dengan mengatasnamakan akademik, bukan hanya melanggar etika ilmiah,
tetapi juga berpotensi melanggar hukum pidana.
Penyidik Polda Metro Jaya bahkan telah memeriksa 130 saksi dan 22 ahli, serta
menyita ratusan dokumen untuk menguji keabsahan tudingan tersebut. Hasilnya?
Ijazah Presiden Jokowi dinyatakan asli setelah melalui uji forensik
bersertifikasi internasional.
Dalam praktik hukum, kami para advokat kerap bersinggungan dengan perkara
yang bersumber dari informasi keliru. Banyak yang mengira bahwa kebebasan
berpendapat adalah tiket bebas untuk menyebar tuduhan. Padahal, dalam hukum,
kebebasan itu dibatasi oleh hak orang lain. Kompetensi akademik bukan hanya
soal gelar, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan hukum atas setiap kata
yang ditulis.
Apakah kita sedang menyaksikan transformasi ilmu menjadi alat propaganda?
Ketika data dikaburkan, asumsi dijadikan dalil, dan nama baik seseorang
dijadikan tumbal ambisi, maka kita sedang menyaksikan tragedi intelektual.
Seorang akademisi sejati tidak menari di atas bara fitnah, melainkan menyalakan
pelita kebenaran.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa edukasi hukum adalah benteng terakhir
dalam menjaga marwah demokrasi. Masyarakat harus paham bahwa kritik adalah hak,
tetapi harus dibarengi dengan tanggung jawab. Jangan sampai kita terjebak dalam
euforia kebebasan berekspresi, namun abai terhadap etika dan hukum yang
mengikatnya.
Mari kita jaga ruang publik dari polusi informasi. Karena dalam negara
hukum, kebenaran bukan ditentukan oleh siapa yang paling lantang, tetapi oleh
siapa yang paling taat pada fakta dan hukum. (Oleh:
Darius Leka, S.H., M.H.)
#kebenaranbukanasumsi #etikaakademikitusuci #janganmainapihukum
#jagahakoranglain #shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp
#jangkauanluas #advokatbersuara @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar