Senin, 22 Desember 2025

Ketika Klaim Menjadi Dalih; Menyoal Kompetensi Akademik Roy Suryo dalam Polemik Ijazah Jokowi

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Ilmu bukan sekadar kata, ia adalah tanggung jawab. Dan dalam tanggung jawab, ada hak orang lain yang harus dijaga.”

Polemik ijazah Presiden Joko Widodo kembali menyeruak ke permukaan, kali ini lewat publikasi bertajuk Jokowi’s White Paper yang digagas oleh Roy Suryo dan koleganya. Namun, alih-alih menjadi pencerahan akademik, karya tersebut justru menuai kritik tajam dari aparat penegak hukum. Polda Metro Jaya secara tegas menyatakan bahwa buku tersebut bukanlah produk akademik yang sahih, melainkan sekadar kumpulan asumsi sepihak yang tidak memenuhi kaidah ilmiah.

Dalam dunia akademik, sebuah karya ilmiah harus tunduk pada prinsip-prinsip metodologis yang ketat: objektivitas, validitas data, dan penghormatan terhadap hak subjek penelitian. Sayangnya, menurut penyidik, Jokowi’s White Paper gagal memenuhi ketiga syarat tersebut. Tidak ada uji validitas, tidak ada peer review, dan yang paling fatal—tidak ada penghormatan terhadap hak dasar subjek, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.

Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda. Dalam konteks ini, menyebarkan informasi yang belum terverifikasi dan bersifat menyerang pribadi, apalagi dengan mengatasnamakan akademik, bukan hanya melanggar etika ilmiah, tetapi juga berpotensi melanggar hukum pidana.

Penyidik Polda Metro Jaya bahkan telah memeriksa 130 saksi dan 22 ahli, serta menyita ratusan dokumen untuk menguji keabsahan tudingan tersebut. Hasilnya? Ijazah Presiden Jokowi dinyatakan asli setelah melalui uji forensik bersertifikasi internasional.

Dalam praktik hukum, kami para advokat kerap bersinggungan dengan perkara yang bersumber dari informasi keliru. Banyak yang mengira bahwa kebebasan berpendapat adalah tiket bebas untuk menyebar tuduhan. Padahal, dalam hukum, kebebasan itu dibatasi oleh hak orang lain. Kompetensi akademik bukan hanya soal gelar, tetapi juga soal tanggung jawab moral dan hukum atas setiap kata yang ditulis.

Apakah kita sedang menyaksikan transformasi ilmu menjadi alat propaganda? Ketika data dikaburkan, asumsi dijadikan dalil, dan nama baik seseorang dijadikan tumbal ambisi, maka kita sedang menyaksikan tragedi intelektual. Seorang akademisi sejati tidak menari di atas bara fitnah, melainkan menyalakan pelita kebenaran.

Sebagai advokat, saya percaya bahwa edukasi hukum adalah benteng terakhir dalam menjaga marwah demokrasi. Masyarakat harus paham bahwa kritik adalah hak, tetapi harus dibarengi dengan tanggung jawab. Jangan sampai kita terjebak dalam euforia kebebasan berekspresi, namun abai terhadap etika dan hukum yang mengikatnya.

Mari kita jaga ruang publik dari polusi informasi. Karena dalam negara hukum, kebenaran bukan ditentukan oleh siapa yang paling lantang, tetapi oleh siapa yang paling taat pada fakta dan hukum. (Oleh: Darius Leka, S.H., M.H.)

 

#kebenaranbukanasumsi #etikaakademikitusuci #janganmainapihukum #jagahakoranglain #shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas #advokatbersuara @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar