JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Setiap tahun, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) mengalir seperti sungai yang tak pernah kering. Namun, mengapa sekolah-sekolah kita masih seperti perahu bocor yang nyaris karam? Atap bolong, kursi patah, papan tulis usang, dan guru-guru yang mengajar dengan wajah letih dan gaji yang tak seberapa. Apakah ini hanya soal anggaran yang kurang, atau ada yang lebih dalam dari sekadar angka?
Dana BOS bukanlah sekadar bantuan. Ia adalah denyut nadi pendidikan dasar di
negeri ini. Berdasarkan Permendikbud Nomor 63 Tahun 2022, dana BOS reguler
diperuntukkan untuk membiayai operasional sekolah, termasuk pengadaan sarana
prasarana, honor guru honorer, hingga kegiatan pembelajaran.
Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari harapan. Banyak sekolah
yang tetap kekurangan fasilitas dasar. Bahkan, ada guru yang harus merogoh
kocek pribadi untuk membeli spidol dan kapur tulis. Ironi ini bukan sekadar
cerita, tapi fakta yang terverifikasi dari berbagai laporan investigatif dan
pengaduan masyarakat.
Sebagai advokat, saya pernah mendampingi seorang kepala sekolah yang dituduh
menyalahgunakan dana BOS. Dalam prosesnya, terungkap bahwa sebagian dana
digunakan untuk kegiatan yang tidak tercantum dalam Rencana Kegiatan dan
Anggaran Sekolah (RKAS). Lebih parah lagi, ada tekanan dari oknum pejabat
daerah yang meminta “jatah” dari dana tersebut.
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mencatat banyaknya penyimpangan
dalam penggunaan dana BOS, mulai dari pengadaan fiktif, mark-up harga, hingga
laporan pertanggungjawaban yang tidak sesuai realisasi. Dalam beberapa kasus,
guru yang mencoba bersuara justru diintimidasi, dimutasi, bahkan diberhentikan
secara sepihak. Di sinilah hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan penonton.
Penyalahgunaan dana BOS bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah
tindak pidana. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap orang yang
menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dapat
dijerat dengan Pasal 3, dengan ancaman pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20
tahun penjara.
Tak hanya itu, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah juga mengatur sanksi administratif bagi pejabat yang lalai atau
menyalahgunakan anggaran. Kepala sekolah, bendahara, hingga pejabat dinas
pendidikan bisa dikenai sanksi disiplin, pemecatan, hingga tuntutan
pengembalian kerugian negara.
Namun, hukum sering kali seperti pisau: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Yang
kecil ditangkap, yang besar menghilang dalam kabut birokrasi.
“Sekolah adalah ladang ilmu,” kata
pepatah. Tapi kini, bagi sebagian oknum, sekolah adalah ladang basah. Tempat di
mana angka-angka di atas kertas bisa disulap menjadi proyek-proyek siluman. Di
mana laporan keuangan lebih penting dari laporan belajar. Di mana guru yang
jujur dianggap duri dalam daging.
Apakah kita akan terus membiarkan ini terjadi?
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum bukan hanya soal pasal, tapi soal
keberanian. Keberanian untuk bersuara, untuk melawan ketidakadilan, dan untuk
membela mereka yang terpinggirkan. Guru-guru yang tertekan, siswa yang belajar
di ruang kelas yang nyaris roboh, dan masyarakat yang mulai apatis—mereka semua
butuh pembelaan.
Masyarakat harus sadar bahwa dana BOS adalah uang rakyat. Kita berhak tahu
ke mana alirannya. Kita wajib mengawasi penggunaannya. Dan kita harus berani
melaporkan jika ada penyimpangan. Karena diam adalah bentuk pengkhianatan
terhadap masa depan anak-anak kita.
Pendidikan adalah lentera bangsa. Tapi lentera itu tak akan menyala jika
sumbunya dicuri. Dana BOS harus menjadi cahaya, bukan bara api yang membakar
integritas.
Mari kita jaga bersama. Karena ketika sekolah runtuh, bukan hanya bangunannya
yang roboh, tapi juga harapan. (Darius Leka, S.H., M.H.)
#transparansidanabos #pendidikanuntuksemua #advokatbersuara
#hukumuntukrakyat #jangandiam #shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou
#fyp #jangkauanluas #advokatbersuara @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar