Jumat, 19 Desember 2025

Kebenaran dan Kepercayaan; Drama Ijazah, Panggung Hukum, dan Ujian Akal Sehat

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Perdebatan antara Yakup Hasibuan dan Rismon Sianipar dalam talkshow televisi bukan sekadar adu argumen, melainkan cermin dari pertarungan antara hukum dan opini, antara bukti dan persepsi. Sebagai advokat, saya mengajak publik untuk menimbang perkara ini dengan akal sehat dan nurani hukum.

Di negeri yang gemar menjadikan drama sebagai santapan publik, selembar ijazah bisa lebih menggelegar dari ledakan skandal korupsi. Tuduhan terhadap keaslian ijazah Presiden Joko Widodo telah menjelma menjadi bola salju yang menggelinding liar, menabrak logika, dan mengaburkan batas antara kritik dan fitnah.

Dalam sebuah talkshow yang disiarkan Kompas TV, dua tokoh hukum—Yakup Hasibuan, kuasa hukum Presiden Jokowi, dan Rismon Sianipar, tersangka dalam kasus penyebaran hoaks ijazah palsu—beradu argumen di hadapan publik.

Polda Metro Jaya telah menggelar perkara khusus atas permintaan pihak pelapor, yakni Roy Suryo dan koleganya. Dalam proses itu, penyidik menunjukkan dokumen ijazah asli Jokowi, lengkap dengan verifikasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, Rismon tetap bersikukuh bahwa ada kejanggalan, bahkan menuding adanya "pemidanaan terhadap rakyat yang hanya bertanya".

Sebagai advokat, saya tegaskan: bertanya adalah hak, tetapi menyebarkan tuduhan tanpa dasar adalah pelanggaran hukum. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong jelas mengatur konsekuensinya.

Yakup Hasibuan dengan tenang menjelaskan bahwa semua keraguan telah dijawab oleh institusi resmi. Namun, Rismon tetap menyoal hal-hal teknis seperti "lembar pengesahan skripsi" dan "foto ijazah". Ini bukan lagi soal mencari kebenaran, tapi mempertahankan narasi.

Dalam hukum, kebenaran dibangun dari bukti, bukan asumsi. Sedangkan kepercayaan dibangun dari konsistensi dan integritas. Ketika opini pribadi lebih dipercaya daripada hasil gelar perkara resmi, maka kita sedang menghadapi krisis epistemik: publik lebih percaya pada narasi daripada fakta.

Tuduhan terhadap simbol negara seperti presiden bukan hanya menyerang individu, tapi juga menggerus kepercayaan terhadap institusi. Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk: siapa pun bisa dituduh, dan siapa pun bisa dihukum oleh opini publik, bukan oleh hukum.

Pancasila mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab, serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Tapi bagaimana mungkin hikmat bisa tumbuh jika yang disemai adalah hoaks?

Sebagai advokat, saya tidak membela orang, saya membela prinsip. Dan prinsip hukum yang sehat adalah: setiap tuduhan harus dibuktikan, bukan diviralkan. Mari kita jaga ruang publik dari polusi informasi. Mari kita rawat kepercayaan dengan disiplin berpikir dan etika beropini.

Karena di tengah riuhnya dunia maya, kebenaran bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling teguh berdiri. (Adv. Darius Leka, S.H.)

 

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#hukumuntukrakyat #ijazahdanintegritas #bicaradengandata #bukandramatapidakwa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar