JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Perdebatan antara Yakup Hasibuan dan Rismon Sianipar dalam talkshow televisi bukan sekadar adu argumen, melainkan cermin dari pertarungan antara hukum dan opini, antara bukti dan persepsi. Sebagai advokat, saya mengajak publik untuk menimbang perkara ini dengan akal sehat dan nurani hukum.
Di negeri yang gemar menjadikan drama sebagai santapan publik, selembar ijazah
bisa lebih menggelegar dari ledakan skandal korupsi. Tuduhan terhadap keaslian
ijazah Presiden Joko Widodo telah menjelma menjadi bola salju yang
menggelinding liar, menabrak logika, dan mengaburkan batas antara kritik dan
fitnah.
Dalam sebuah talkshow yang disiarkan Kompas TV, dua tokoh hukum—Yakup
Hasibuan, kuasa hukum Presiden Jokowi, dan Rismon Sianipar, tersangka dalam
kasus penyebaran hoaks ijazah palsu—beradu argumen di hadapan publik.
Polda Metro Jaya telah menggelar perkara khusus atas permintaan pihak
pelapor, yakni Roy Suryo dan koleganya. Dalam proses itu, penyidik menunjukkan
dokumen ijazah asli Jokowi, lengkap dengan verifikasi dari Universitas Gadjah
Mada (UGM). Namun, Rismon tetap bersikukuh bahwa ada kejanggalan, bahkan
menuding adanya "pemidanaan terhadap rakyat yang hanya bertanya".
Sebagai advokat, saya tegaskan: bertanya adalah hak, tetapi menyebarkan
tuduhan tanpa dasar adalah pelanggaran hukum. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong jelas mengatur konsekuensinya.
Yakup Hasibuan dengan tenang menjelaskan bahwa semua keraguan telah dijawab
oleh institusi resmi. Namun, Rismon tetap menyoal hal-hal teknis seperti
"lembar pengesahan skripsi" dan "foto ijazah". Ini bukan
lagi soal mencari kebenaran, tapi mempertahankan narasi.
Dalam hukum, kebenaran dibangun dari bukti, bukan asumsi. Sedangkan
kepercayaan dibangun dari konsistensi dan integritas. Ketika opini pribadi
lebih dipercaya daripada hasil gelar perkara resmi, maka kita sedang menghadapi
krisis epistemik: publik lebih percaya pada narasi daripada fakta.
Tuduhan terhadap simbol negara seperti presiden bukan hanya menyerang
individu, tapi juga menggerus kepercayaan terhadap institusi. Jika dibiarkan,
ini bisa menjadi preseden buruk: siapa pun bisa dituduh, dan siapa pun bisa
dihukum oleh opini publik, bukan oleh hukum.
Pancasila mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil
dan beradab, serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
Tapi bagaimana mungkin hikmat bisa tumbuh jika yang disemai adalah hoaks?
Sebagai advokat, saya tidak membela orang, saya membela prinsip. Dan prinsip
hukum yang sehat adalah: setiap tuduhan harus dibuktikan, bukan diviralkan.
Mari kita jaga ruang publik dari polusi informasi. Mari kita rawat kepercayaan
dengan disiplin berpikir dan etika beropini.
Karena di tengah riuhnya dunia maya, kebenaran bukan yang paling keras
suaranya, tapi yang paling teguh berdiri. (Adv. Darius Leka, S.H.)
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #jangkauanluas
@semuaorang
#hukumuntukrakyat #ijazahdanintegritas #bicaradengandata #bukandramatapidakwa

Tidak ada komentar:
Posting Komentar