JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Dokter Tifa marah karena merasa direndahkan secara intelektual oleh pernyataan Andi Azwan yang menyebut ilmunya berasal dari “alam gaib”—sebuah sindiran yang dianggap mencoreng integritas akademik dan profesionalismenya sebagai ilmuwan.
Di tengah panasnya perdebatan publik soal keaslian ijazah
Presiden Joko Widodo, panggung diskusi berubah menjadi arena gladiator. Bukan
lagi soal data dan dokumen, tapi soal ego dan emosi. Salah satu momen yang
menyita perhatian publik adalah ketika dr. Tifauzia Tyassuma—yang dikenal
sebagai Dokter Tifa—meluapkan kemarahannya kepada Andi Azwan. Penyebabnya?
Sebuah kalimat yang menyebut bahwa “ilmu dr. Tifa berasal dari alam gaib.”
Seketika, debat berubah menjadi drama. Tapi di balik emosi
itu, ada pelajaran hukum dan etika komunikasi yang patut kita bedah.
Dokter Tifa adalah seorang ahli epidemiologi dengan latar
belakang akademik dari Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia. Ia
dikenal vokal dalam isu-isu kebijakan publik dan kesehatan. Dalam sebuah forum
debat yang disiarkan publik, Andi Azwan—salah satu pihak yang membela keabsahan
ijazah Presiden—melontarkan pernyataan yang menyindir keahlian dr. Tifa dengan
menyebut bahwa “ilmunya berasal dari alam gaib.”
Pernyataan ini memicu kemarahan dr. Tifa, yang merasa
direndahkan secara intelektual dan profesional. Ia bahkan menghampiri Andi
Azwan secara langsung di tengah forum, menuntut klarifikasi dan permintaan
maaf.
Dalam hukum pidana Indonesia, pernyataan yang merendahkan
martabat seseorang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik atau
penghinaan, sebagaimana diatur dalam:
- Pasal
310 KUHP: Menghina seseorang dengan
lisan atau tulisan di muka umum.
- Pasal
27 ayat (3) UU ITE:
Menyebarkan informasi yang menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
melalui media elektronik.
Namun, dalam konteks debat publik, ada ruang untuk pembelaan
melalui hak jawab, kebebasan berpendapat, dan niat tidak
menyerang pribadi. Maka, penilaian atas unsur pidana sangat bergantung pada
konteks, intensi, dan dampak pernyataan tersebut.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa kritik adalah bagian
dari demokrasi. Namun, kritik harus berbasis argumen, bukan serangan personal.
Menyebut seseorang “belajar dari alam gaib” bukanlah kritik, melainkan
insinuasi yang merendahkan. Ini bukan soal setuju atau tidak, tapi soal etiket
intelektual.
Ironis, di tengah era digital dan revolusi industri 5.0,
kita masih menyaksikan debat publik yang menyerempet mistisisme. Seolah-olah,
ketika argumen tak mampu dibantah, maka lawan harus diserang secara personal.
Padahal, ilmu bukan datang dari langit atau jin, tapi dari riset, studi, dan
kerja keras.
Perdebatan boleh panas, tapi jangan sampai membakar etika.
Jika kita ingin membangun masyarakat yang cerdas, maka kita harus mulai dari
menghargai ilmu dan orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu. Karena
ketika ilmu diremehkan, maka yang runtuh bukan hanya argumen, tapi juga
martabat bangsa.
Ditulis oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat dan
Pemerhati Etika Hukum Publik, Dipublikasikan di:
jangkarkeadilan.blogspot.com
#etikadebat #doktertifa #ijazahpresiden #advokatbersuara #janganrendahkanilmu
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar