Jumat, 19 Desember 2025

Ijazah, Gelar Perkara, dan Nafsu Politik; Ketika Fakta Tak Lagi Sakral

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum, terkadang kebenaran tak cukup untuk menutup mulut yang sudah terlanjur berteriak. Senin, 15 Desember 2025, Polda Metro Jaya menggelar perkara khusus yang memperlihatkan langsung ijazah Presiden Joko Widodo kepada para pelapor dan tersangka. Tapi alih-alih reda, api tuduhan justru makin membara. Roy Suryo Cs tetap bersikukuh: “Ijazah itu palsu.”

Mengapa? Gelar perkara itu digelar sebagai respons atas laporan dugaan pemalsuan ijazah yang dilayangkan oleh Roy Suryo dan rekan-rekannya. Dalam forum tersebut, penyidik menunjukkan dokumen asli ijazah Presiden Jokowi dari Universitas Gadjah Mada. Bahkan, pihak kampus turut hadir dan menegaskan keabsahan dokumen tersebut.

Namun, Roy Suryo Cs tetap menolak mengakui keabsahan ijazah itu. Mereka menilai ada kejanggalan dan meminta pembuktian lebih lanjut, termasuk audit forensik independen. Padahal, menurut Polda Metro Jaya, semua prosedur telah dilalui dan tidak ditemukan unsur pidana dalam penerbitan ijazah tersebut.

Sebagai advokat, saya melihat ini bukan lagi soal dokumen, tapi soal narasi. Dalam politik, narasi bisa lebih tajam dari fakta. Berikut beberapa alasan mengapa pihak Roy Suryo Cs tetap bersikeras:

  • Perang Persepsi Publik: Di era digital, persepsi bisa lebih mematikan daripada peluru. Sekali isu dilempar, klarifikasi tak selalu mampu menambalnya.
  • Kalkulasi Politik: Menyerang simbol negara adalah cara instan untuk mencuri panggung. Meski risikonya tinggi, sorotan publik bisa jadi imbalan yang menggiurkan.
  • Distrust terhadap Institusi: Ada anggapan bahwa institusi negara bisa “diatur”. Maka meski bukti ditunjukkan, mereka tetap curiga.
  • Efek Bola Salju: Setelah opini publik terbentuk, mundur berarti kalah. Maka lebih baik terus menggiring isu, meski dengan risiko hukum.

Dalam hukum pidana, menyebarkan informasi bohong yang merugikan kehormatan seseorang dapat dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik, serta UU ITE Pasal 27 ayat (3). Jika tuduhan tidak terbukti dan dilakukan secara terbuka, pelapor bisa berbalik menjadi tersangka.

Polda Metro Jaya sendiri telah menyatakan bahwa tidak ditemukan unsur pidana dalam kasus ini. Bahkan, penyidik menyebut bahwa tindakan Roy Suryo Cs berpotensi menjadi fitnah dan penyebaran hoaks.

Kita hidup di zaman ketika kebenaran bisa dinegosiasikan, dan fakta bisa dibantah dengan “perasaan”. Ijazah yang ditunjukkan langsung pun dianggap ilusi. Maka pertanyaannya: apakah hukum masih punya wibawa, ataukah ia hanya menjadi panggung sandiwara?

Sebagai masyarakat, kita harus cerdas memilah antara kritik dan fitnah. Kritik membangun demokrasi. Fitnah merobohkannya.

Hukum adalah jangkar keadilan, bukan alat propaganda. Ketika hukum tunduk pada opini, maka yang menang bukan lagi kebenaran, tapi siapa yang paling nyaring berteriak.

Dan ijazah, yang seharusnya menjadi simbol pencapaian akademik, kini menjadi alat untuk menguji ketahanan demokrasi kita.

 

Oleh; Adv. Darius Leka, S.H. -  Advokat & Penggagas #JangkarKeadilan

#jangkarkeadilan #sertifikattanah #edukasihukum #foryou #fyp #shdariusleka #politikdanhukum #roycs #poldametrojay #ijazahjokowi #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar