JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum, terkadang kebenaran tak cukup untuk menutup mulut yang sudah terlanjur berteriak. Senin, 15 Desember 2025, Polda Metro Jaya menggelar perkara khusus yang memperlihatkan langsung ijazah Presiden Joko Widodo kepada para pelapor dan tersangka. Tapi alih-alih reda, api tuduhan justru makin membara. Roy Suryo Cs tetap bersikukuh: “Ijazah itu palsu.”
Mengapa? Gelar perkara itu digelar sebagai respons atas laporan dugaan pemalsuan ijazah yang dilayangkan oleh Roy Suryo dan rekan-rekannya. Dalam forum tersebut, penyidik menunjukkan dokumen asli ijazah Presiden Jokowi dari Universitas Gadjah Mada. Bahkan, pihak kampus turut hadir dan menegaskan keabsahan dokumen tersebut.
Namun, Roy Suryo Cs tetap menolak mengakui keabsahan ijazah
itu. Mereka menilai ada kejanggalan dan meminta pembuktian lebih lanjut,
termasuk audit forensik independen. Padahal, menurut Polda Metro Jaya, semua
prosedur telah dilalui dan tidak ditemukan unsur pidana dalam penerbitan ijazah
tersebut.
Sebagai advokat, saya melihat ini bukan lagi soal dokumen,
tapi soal narasi. Dalam politik, narasi bisa lebih tajam dari fakta. Berikut
beberapa alasan mengapa pihak Roy Suryo Cs tetap bersikeras:
- Perang
Persepsi Publik: Di era digital, persepsi bisa
lebih mematikan daripada peluru. Sekali isu dilempar, klarifikasi tak
selalu mampu menambalnya.
- Kalkulasi
Politik: Menyerang simbol negara
adalah cara instan untuk mencuri panggung. Meski risikonya tinggi, sorotan
publik bisa jadi imbalan yang menggiurkan.
- Distrust
terhadap Institusi: Ada
anggapan bahwa institusi negara bisa “diatur”. Maka meski bukti
ditunjukkan, mereka tetap curiga.
- Efek
Bola Salju: Setelah opini publik
terbentuk, mundur berarti kalah. Maka lebih baik terus menggiring isu,
meski dengan risiko hukum.
Dalam hukum pidana, menyebarkan informasi bohong yang
merugikan kehormatan seseorang dapat dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP
tentang pencemaran nama baik, serta UU ITE Pasal 27 ayat (3). Jika tuduhan
tidak terbukti dan dilakukan secara terbuka, pelapor bisa berbalik menjadi
tersangka.
Polda Metro Jaya sendiri telah menyatakan bahwa tidak
ditemukan unsur pidana dalam kasus ini. Bahkan, penyidik menyebut bahwa
tindakan Roy Suryo Cs berpotensi menjadi fitnah dan penyebaran hoaks.
Kita hidup di zaman ketika kebenaran bisa dinegosiasikan,
dan fakta bisa dibantah dengan “perasaan”. Ijazah yang ditunjukkan langsung pun
dianggap ilusi. Maka pertanyaannya: apakah hukum masih punya wibawa, ataukah ia
hanya menjadi panggung sandiwara?
Sebagai masyarakat, kita harus cerdas memilah antara kritik
dan fitnah. Kritik membangun demokrasi. Fitnah merobohkannya.
Hukum adalah jangkar keadilan, bukan alat propaganda. Ketika
hukum tunduk pada opini, maka yang menang bukan lagi kebenaran, tapi siapa yang
paling nyaring berteriak.
Dan ijazah, yang seharusnya menjadi simbol pencapaian
akademik, kini menjadi alat untuk menguji ketahanan demokrasi kita.
Oleh; Adv. Darius Leka, S.H. - Advokat & Penggagas
#JangkarKeadilan
#jangkarkeadilan #sertifikattanah #edukasihukum #foryou #fyp
#shdariusleka #politikdanhukum #roycs #poldametrojay #ijazahjokowi #shdariusleka
#darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar