Rabu, 17 Desember 2025

“Ijazah, Emboss, dan Ego; Ketika Kebenaran Tak Butuh Mikrofon”

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Emboss dan Watermark Ijazah Jokowi Ditegaskan Ada: Klaim Roy Suryo Mulai Rontok di Hadapan Fakta. Di tengah pusaran narasi liar soal keaslian ijazah Presiden Joko Widodo, satu suara kembali muncul dari kubu hukum: Eggi Sudjana, pengacara yang juga dikenal sebagai aktivis hukum, menegaskan bahwa ijazah Jokowi memiliki emboss, watermark, dan garis merah di atas foto—tiga elemen yang selama ini dijadikan senjata oleh Roy Suryo Cs untuk menyebut ijazah itu palsu.

Pernyataan Eggi ini bukan sekadar opini. Ia disampaikan dalam konteks pemeriksaan resmi di Polda Metro Jaya, di mana dokumen fisik ditunjukkan dan diperiksa langsung oleh penyidik. Artinya, ini bukan lagi soal asumsi digital, tapi soal fakta analog.

Roy Suryo, mantan Menpora dan pakar telematika, sebelumnya menyatakan bahwa ijazah Jokowi “tidak memiliki emboss dan watermark” serta “tidak ada garis merah di atas foto”. Klaim ini menjadi bahan bakar utama dalam narasi “ijazah palsu” yang ia dan rekan-rekannya dorong ke publik.

Namun, ketika dokumen asli diperlihatkan dalam gelar perkara, dan pengacara dari pihak yang semula kritis justru mengakui keberadaan elemen-elemen tersebut, maka narasi Roy Suryo mulai kehilangan pijakan. Fakta telah bicara, meski suara kebenaran tak sekeras mikrofon opini.

Sebagai advokat, saya ingin mengingatkan publik: keaslian dokumen bukan ditentukan oleh screenshot atau asumsi visual, melainkan oleh uji forensik dokumen. Ada laboratorium forensik Polri, ada ahli grafologi, ada metode ilmiah untuk memverifikasi keaslian dokumen.

Jika benar emboss dan watermark ada, maka tuduhan pemalsuan bisa berbalik arah menjadi penyebaran hoaks—yang diatur dalam Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 serta Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Dan dalam hukum, siapa yang menuduh, dialah yang wajib membuktikan.

Lucu memang, ketika sebuah negara dengan 270 juta penduduk bisa diguncang oleh narasi tentang selembar ijazah. Lebih lucu lagi, ketika yang dipercaya bukan laboratorium forensik, tapi analisa font dan warna kertas dari hasil scan JPEG.

Tapi inilah Indonesia: di mana opini bisa lebih dipercaya daripada bukti, dan di mana pengadilan publik di media sosial lebih ramai daripada ruang sidang.

Kini, fakta telah muncul. Emboss dan watermark bukan lagi mitos. Garis merah di atas foto bukan lagi ilusi. Maka publik pun harus belajar: jangan mudah percaya pada narasi yang belum diuji hukum. Karena dalam negara hukum, yang bicara bukan mikrofon, tapi bukti.

 

Oleh: Seorang Advokat, Penjaga Nurani Hukum dan Akal Sehat Publik

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #ijazahdanintegritas #hukumdanakal #edukasihukum #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar