Rabu, 17 Desember 2025

“Gerbong yang Melaju Tanpa Rem; Ketika Bonatua Memilih Turun di Stasiun Kebenaran”

JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Bonatua Silalahi Menolak Satu Gerbong dengan Roy Suryo Cs: Bukan Pengkhianatan, Tapi Soal Prinsip dan Etika Hukum. Di awal pusaran isu ijazah Presiden Joko Widodo, nama Bonatua Silalahi sempat muncul berdampingan dengan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dr. Tifauziah Tyassuma. Mereka tampil bersama, mengangkat salinan ijazah, menggelar konferensi pers, dan menyuarakan keraguan terhadap keabsahan dokumen pendidikan kepala negara.

Namun, waktu berjalan. Dan Bonatua—yang dikenal sebagai pengamat kebijakan publik—tiba-tiba mengambil jarak. Ia menolak berada dalam “satu gerbong” dengan Roy Suryo Cs. Banyak yang menyebutnya berkhianat. Tapi benarkah?

Dalam pernyataannya, Bonatua menegaskan bahwa ia tidak ingin terjebak dalam narasi yang kehilangan arah. Ia menilai bahwa perjuangan hukum harus berbasis data, bukan drama. Ketika narasi ijazah palsu mulai dibumbui dengan opini liar, asumsi visual, dan analisa non-akademik, ia memilih mundur.

Ia juga menyayangkan bahwa isu yang seharusnya diselesaikan melalui mekanisme hukum justru dibawa ke ruang publik dengan pendekatan agitasi. “Saya tidak ingin menjadi bagian dari gerakan yang lebih banyak menguras energi publik daripada memberi solusi,” ujarnya dalam sebuah wawancara.

Sebagai advokat, saya memahami posisi Bonatua. Dalam hukum, kritik adalah hak. Tapi kritik harus berbasis bukti, bukan asumsi. Ketika seseorang menuduh pemalsuan dokumen, maka ia wajib membuktikan secara hukum, bukan sekadar mengandalkan analisa font atau warna kertas dari hasil scan.

Bonatua tampaknya menyadari bahwa tanpa bukti kuat, kritik bisa berubah menjadi fitnah. Dan dalam konteks hukum, fitnah bisa dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP, bahkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika dilakukan melalui media digital.

Gerbong Roy Suryo Cs kini seperti kereta tanpa masinis. Melaju kencang, tapi tak tahu ke mana arah. Mereka menolak fakta, menantang penyidik, dan terus mengulang narasi yang mulai kehilangan daya. Sementara itu, Bonatua memilih turun. Bukan karena takut, tapi karena sadar: kebenaran tak bisa dicapai dengan kebisingan.

Bonatua Silalahi mengajarkan kita satu hal: bahwa berani mundur dari kerumunan yang salah adalah bentuk keberanian tertinggi. Dalam hukum, integritas lebih penting daripada popularitas. Dan dalam demokrasi, suara yang jernih lebih berharga daripada teriakan yang kosong.

 

Oleh; Seorang Advokat, Penjaga Nurani Hukum dan Etika Publik

#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp #bonatuasilalahi #ijazahdanlogika #hukumdanetika #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar