JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Bonatua Silalahi Menolak Satu Gerbong dengan Roy Suryo Cs: Bukan Pengkhianatan, Tapi Soal Prinsip dan Etika Hukum. Di awal pusaran isu ijazah Presiden Joko Widodo, nama Bonatua Silalahi sempat muncul berdampingan dengan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan dr. Tifauziah Tyassuma. Mereka tampil bersama, mengangkat salinan ijazah, menggelar konferensi pers, dan menyuarakan keraguan terhadap keabsahan dokumen pendidikan kepala negara.
Namun, waktu berjalan. Dan Bonatua—yang dikenal sebagai
pengamat kebijakan publik—tiba-tiba mengambil jarak. Ia menolak berada dalam
“satu gerbong” dengan Roy Suryo Cs. Banyak yang menyebutnya berkhianat. Tapi
benarkah?
Dalam pernyataannya, Bonatua menegaskan bahwa ia tidak ingin
terjebak dalam narasi yang kehilangan arah. Ia menilai bahwa perjuangan
hukum harus berbasis data, bukan drama. Ketika narasi ijazah palsu mulai
dibumbui dengan opini liar, asumsi visual, dan analisa non-akademik, ia memilih
mundur.
Ia juga menyayangkan bahwa isu yang seharusnya diselesaikan
melalui mekanisme hukum justru dibawa ke ruang publik dengan pendekatan
agitasi. “Saya tidak ingin menjadi bagian dari gerakan yang lebih banyak
menguras energi publik daripada memberi solusi,” ujarnya dalam sebuah
wawancara.
Sebagai advokat, saya memahami posisi Bonatua. Dalam hukum,
kritik adalah hak. Tapi kritik harus berbasis bukti, bukan asumsi. Ketika
seseorang menuduh pemalsuan dokumen, maka ia wajib membuktikan secara hukum,
bukan sekadar mengandalkan analisa font atau warna kertas dari hasil scan.
Bonatua tampaknya menyadari bahwa tanpa bukti kuat,
kritik bisa berubah menjadi fitnah. Dan dalam konteks hukum, fitnah bisa
dijerat Pasal 310 dan 311 KUHP, bahkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE jika dilakukan
melalui media digital.
Gerbong Roy Suryo Cs kini seperti kereta tanpa masinis.
Melaju kencang, tapi tak tahu ke mana arah. Mereka menolak fakta, menantang
penyidik, dan terus mengulang narasi yang mulai kehilangan daya. Sementara itu,
Bonatua memilih turun. Bukan karena takut, tapi karena sadar: kebenaran tak
bisa dicapai dengan kebisingan.
Bonatua Silalahi mengajarkan kita satu hal: bahwa berani
mundur dari kerumunan yang salah adalah bentuk keberanian tertinggi. Dalam
hukum, integritas lebih penting daripada popularitas. Dan dalam demokrasi,
suara yang jernih lebih berharga daripada teriakan yang kosong.
Oleh; Seorang Advokat, Penjaga
Nurani Hukum dan Etika Publik
#shdariusleka #jangkarkeadilan #reels #foryou #fyp
#bonatuasilalahi #ijazahdanlogika #hukumdanetika #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar