JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Di tengah deru kereta cepat yang membelah tanah Jawa, suara Presiden Prabowo Subianto menggema lebih lantang dari peluit stasiun: “Enggak usah ribut-ribut soal Whoosh. Saya yang tanggung jawab.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika politik, melainkan sebuah deklarasi hukum yang layak dikaji dengan lensa konstitusional dan etika publik.
Apakah tanggung jawab seorang
presiden bisa sesederhana itu?
Ataukah kita sedang menyaksikan sebuah opera politik di mana rakyat diminta
diam, sementara negara melaju tanpa rem transparansi?
Kereta Cepat Whoosh, proyek strategis
nasional yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan, kini menjadi panggung
polemik. Utang yang membengkak, skema pembiayaan yang kabur, dan manfaat publik
yang belum terukur menjadi bahan bakar kritik.
Presiden Prabowo, dalam peresmian
Stasiun Tanah Abang Baru, menyatakan bahwa Indonesia bukan negara sembarangan
dan mampu membiayai proyek besar seperti Whoosh. Namun, dalam hukum tata
negara, kemampuan bukanlah pengganti dari kewajiban untuk menjelaskan.
Publik berhak tahu: siapa yang membayar, bagaimana skemanya, dan apa
jaminannya?
Pernyataan “saya yang tanggung jawab”
bisa terdengar heroik, namun dalam sistem demokrasi, tanggung jawab bukanlah
milik satu orang. Ia adalah proses kolektif yang melibatkan lembaga pengawas,
parlemen, dan masyarakat sipil. Jika presiden mengambil alih semua tanggung
jawab, apakah itu bentuk kepemimpinan atau gejala sentralisasi kekuasaan?
Dalam hukum administrasi negara,
proyek publik harus tunduk pada prinsip good governance: transparansi,
akuntabilitas, dan partisipasi. Tanpa itu, kereta cepat bisa berubah menjadi
kereta gelap.
Sebagai advokat, saya melihat bahwa pernyataan Presiden Prabowo membuka ruang hukum yang penting:
- Pertama, apakah pernyataan tersebut
mengikat secara hukum? Dalam konteks negara hukum, ucapan presiden bisa
menjadi dasar kebijakan, namun tetap harus diuji oleh mekanisme formal.
- Kedua, bagaimana mekanisme pengawasan
terhadap proyek Whoosh? Apakah BPK, KPK, dan DPR telah dilibatkan secara
aktif?
- Ketiga, apakah publik memiliki akses terhadap
data utang dan skema pembiayaan? UU Keterbukaan Informasi Publik
mewajibkan negara untuk membuka data strategis.
Jika negara adalah kereta, maka
rakyat adalah relnya. Tanpa rel yang kokoh, kereta akan tergelincir. Pernyataan
Presiden Prabowo adalah sinyal penting, namun bukan akhir dari diskusi. Justru
ini awal dari pertanyaan hukum yang harus dijawab dengan data, bukan hanya
dengan janji.
Karena dalam negara hukum, tanggung jawab bukan hanya soal siapa yang bicara paling lantang, tapi siapa yang paling transparan. (Adv. Darius Leka, S.H., M.H.)
#whooshtanpatransparansi #tanggungjawabbukanretorika #keretacepatkeretagelap #rakyatadalahrel #utangbukanrahasia #siapabayarwhoosh #presidenbukanpemiliknegara #kritikadalahkewajiban #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar