![]() |
Dina, seorang pengusaha kecil, terpikat. Ia menyerahkan modal ratusan juta. “Ini bukan penipuan,” pikirnya. “Kami ada perjanjian.” Tapi tiga bulan kemudian, Raka lenyap. Kantor tutup, nomor tak aktif, dan mitra internasional ternyata hanya nama palsu di LinkedIn.
Di Balik Panggung: Unsur Subyektif dan Obyektif
Kasus Raka bukan sekadar drama bisnis. Ia masuk ranah
pidana. Tapi hukum tak semudah menyebut “penipu!” lalu menjebloskan ke penjara.
Ada dua gerbang yang harus dilalui: unsur obyektif dan unsur subyektif.
Unsur obyektif adalah panggung nyata:
- Ada
benda (uang Dina),
- Ada
tindakan (Raka menggerakkan hati Dina),
- Ada
akibat (uang berpindah tangan),
- Dan
ada tipu muslihat (nama palsu, janji palsu, grafik palsu).
Unsur subyektif
adalah panggung batin:
- Apakah
Raka memang berniat menipu?
- Apakah
ia tahu bahwa janji itu palsu?
- Apakah
sejak awal ia ingin menguntungkan diri secara melawan hukum?
Tanpa bukti bahwa Raka “menghendaki dan mengetahui”
kebohongannya, maka ia bisa berdalih: “Saya hanya gagal bisnis. Itu
wanprestasi, bukan penipuan.”
Penggelapan: Ketika Kepercayaan Jadi Senjata
Di sisi lain, ada Dani. Ia dipercaya mengelola mobil
operasional perusahaan. Tapi diam-diam, mobil itu dijual. “Saya butuh uang,”
katanya. “Nanti saya ganti.” Tapi hukum tak menunggu janji.
Dani masuk dalam Pasal 372 KUHP: penggelapan. Ia memiliki
benda milik orang lain secara melawan hukum. Mobil itu bukan miliknya. Ia tahu
itu. Tapi ia kuasai dan pindahkan haknya. Unsur obyektif terpenuhi. Unsur
subyektif—kesengajaan dan kesadaran—pun terbukti.
Tipisnya Batas, Tebalnya Etika
Seringkali, penipuan dan penggelapan bersembunyi di balik
kontrak. Di balik presentasi bisnis. Di balik kata “kepercayaan.” Tapi hukum
tak bisa dipaksa menafsirkan semua kegagalan sebagai kejahatan. Wanprestasi
bukan penipuan. Salah kelola bukan penggelapan. Kecuali ada niat jahat yang
bisa dibuktikan.
Dan di sinilah pentingnya etika berperkara. Jangan jadikan
KUHP sebagai alat balas dendam bisnis. Jangan jadikan laporan polisi sebagai
senjata negosiasi. Karena hukum bukan panggung sandiwara. Ia adalah cermin
nurani.
“Di negeri yang
sibuk dengan proposal dan janji, kadang keadilan tersesat di antara kata
‘gagal’ dan ‘jahat’. Maka tugas kita bukan hanya menuntut, tapi memahami:
apakah ini kesalahan, atau kejahatan?”
Adv. Darius Leka, S.H.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar