Rabu, 12 Agustus 2020

“Namanya Bisnis, Tapi Nyatanya Jeruji”


JANGKARKEADILAN, JAKARTA - Di sebuah kota yang sibuk dengan seminar bisnis dan kopi hangat di lobi hotel, seorang pria bernama Raka tampil memukau. Jasnya licin, kata-katanya manis, dan presentasinya penuh grafik pertumbuhan. Ia menjual mimpi: investasi properti digital, return 30% per bulan, dan “jaminan” dari mitra internasional yang entah siapa.

Dina, seorang pengusaha kecil, terpikat. Ia menyerahkan modal ratusan juta. “Ini bukan penipuan,” pikirnya. “Kami ada perjanjian.” Tapi tiga bulan kemudian, Raka lenyap. Kantor tutup, nomor tak aktif, dan mitra internasional ternyata hanya nama palsu di LinkedIn.

Di Balik Panggung: Unsur Subyektif dan Obyektif

Kasus Raka bukan sekadar drama bisnis. Ia masuk ranah pidana. Tapi hukum tak semudah menyebut “penipu!” lalu menjebloskan ke penjara. Ada dua gerbang yang harus dilalui: unsur obyektif dan unsur subyektif.

Unsur obyektif adalah panggung nyata:

  • Ada benda (uang Dina),
  • Ada tindakan (Raka menggerakkan hati Dina),
  • Ada akibat (uang berpindah tangan),
  • Dan ada tipu muslihat (nama palsu, janji palsu, grafik palsu).

Unsur subyektif adalah panggung batin:

  • Apakah Raka memang berniat menipu?
  • Apakah ia tahu bahwa janji itu palsu?
  • Apakah sejak awal ia ingin menguntungkan diri secara melawan hukum?

Tanpa bukti bahwa Raka “menghendaki dan mengetahui” kebohongannya, maka ia bisa berdalih: “Saya hanya gagal bisnis. Itu wanprestasi, bukan penipuan.”

Penggelapan: Ketika Kepercayaan Jadi Senjata

Di sisi lain, ada Dani. Ia dipercaya mengelola mobil operasional perusahaan. Tapi diam-diam, mobil itu dijual. “Saya butuh uang,” katanya. “Nanti saya ganti.” Tapi hukum tak menunggu janji.

Dani masuk dalam Pasal 372 KUHP: penggelapan. Ia memiliki benda milik orang lain secara melawan hukum. Mobil itu bukan miliknya. Ia tahu itu. Tapi ia kuasai dan pindahkan haknya. Unsur obyektif terpenuhi. Unsur subyektif—kesengajaan dan kesadaran—pun terbukti.

Tipisnya Batas, Tebalnya Etika

Seringkali, penipuan dan penggelapan bersembunyi di balik kontrak. Di balik presentasi bisnis. Di balik kata “kepercayaan.” Tapi hukum tak bisa dipaksa menafsirkan semua kegagalan sebagai kejahatan. Wanprestasi bukan penipuan. Salah kelola bukan penggelapan. Kecuali ada niat jahat yang bisa dibuktikan.

Dan di sinilah pentingnya etika berperkara. Jangan jadikan KUHP sebagai alat balas dendam bisnis. Jangan jadikan laporan polisi sebagai senjata negosiasi. Karena hukum bukan panggung sandiwara. Ia adalah cermin nurani.

 “Di negeri yang sibuk dengan proposal dan janji, kadang keadilan tersesat di antara kata ‘gagal’ dan ‘jahat’. Maka tugas kita bukan hanya menuntut, tapi memahami: apakah ini kesalahan, atau kejahatan?”

Adv. Darius Leka, S.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar