![]() |
| Apakah reformasi hanya untuk yang bersih, atau juga untuk yang sedang dibersihkan? |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — 19 November 2025. Di gedung STIK-PTIK, sebuah audiensi yang seharusnya menjadi ruang dialog antara masyarakat sipil dan Komite Percepatan Reformasi Polri berubah menjadi panggung drama hukum. Refly Harun datang bersama 17 orang, termasuk Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa. Mereka membawa data, gagasan, dan semangat reformasi. Tapi pintu tak dibuka untuk semua.
Prof. Jimly Asshiddiqie,
Ketua Komite Reformasi Polri, menolak kehadiran tiga nama yang berstatus
tersangka dalam kasus dugaan pemalsuan ijazah Presiden Jokowi. Alasannya
sederhana namun tegas: institusi negara tidak boleh bertemu dengan pihak
yang sedang diperiksa secara hukum.
Dalam hukum pidana Indonesia, status tersangka bukanlah
vonis. Ia adalah praduga, bukan putusan. Namun dalam praktik kelembagaan,
status ini dapat menjadi batas etis dan administratif. Komite Reformasi Polri,
sebagai organ resmi, memiliki kewajiban menjaga integritas dan netralitasnya.
Apakah penolakan itu melanggar hak sipil? Tidak. Karena
audiensi bukan hak mutlak, melainkan forum yang tunduk pada tata kelola
institusi. Namun, dari sisi komunikasi publik, penolakan ini membuka ruang
tafsir dan narasi.
Roy Suryo cs menyebut mereka walk out. Tapi fakta
menunjukkan mereka ditolak masuk sebelum audiensi dimulai. Ini bukan keluar
dari ruang, tapi tidak diizinkan masuk ke ruang itu. Maka istilah “walk out”
menjadi semacam eufemisme politik—sebuah cara elegan untuk
menyembunyikan penolakan.
Refly Harun, sebagai advokat dan pakar hukum tata negara,
memilih solidaritas. Ia keluar dari audiensi sebagai bentuk protes. Sebuah
sikap yang bisa dimaknai sebagai pembelaan terhadap hak partisipasi sipil,
meski berbenturan dengan prosedur hukum.
Ironisnya, mereka datang untuk bicara soal reformasi Polri.
Tapi justru ditolak oleh institusi yang sedang direformasi. Ini seperti ingin
memperbaiki rumah, tapi tak diizinkan masuk karena dianggap membawa lumpur.
Prof. Jimly tak salah. Ia menjaga marwah institusi. Tapi Roy
Suryo cs juga tak sepenuhnya keliru. Mereka ingin bicara, meski status hukum
mereka menjadi penghalang. Maka publik bertanya: apakah reformasi hanya
untuk yang bersih, atau juga untuk yang sedang dibersihkan?
Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai pelajaran penting:
bahwa dalam demokrasi, niat baik harus berjalan bersama prosedur hukum.
Bahwa transparansi bukan hanya soal data, tapi juga soal siapa yang boleh
bicara.
Dan bahwa dalam panggung hukum, kadang aktor terbaik tak
mendapat peran, karena status mereka belum selesai ditulis oleh pengadilan.
Darius Leka, S.H.
#tersangkatakbolehbersuara #hukummenutuppintu
#audiensiyanggagal #royreflytifaditolaknegara #komitereformasitanpareformis #jimlymenjagapintu #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar