Senin, 17 November 2025

Antara Fotokopi, Fakta, dan Fatwa—Menimbang Ijazah, Menegakkan Hukum

"Hukum berjalan di atas prosedur, bukan prasangka"

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — Prof. Jamin Ginting menegaskan bahwa penyidiklah yang berwenang menentukan pasal terhadap tersangka setelah memverifikasi keaslian ijazah dari sumber resmi seperti UGM dan pemegang ijazah asli, yakni Presiden Jokowi. Pernyataan ini kontras dengan klaim pihak pro-Mahfud MD dan Roy Suryo cs yang menyebut ijazah Jokowi “99,999% palsu” hanya berdasarkan fotokopi.

Di negeri yang gemar menguliti kertas, selembar ijazah bisa menjadi panggung drama nasional. Tak peduli apakah itu salinan atau asli, yang penting bisa memantik opini. Dan di tengah pusaran ini, muncul dua kutub: satu berbicara dengan data forensik, satu lagi dengan persentase nyaris absolut—99,999%.

Namun hukum tak mengenal angka hiperbolik. Ia mengenal bukti, prosedur, dan kewenangan. Dan di sinilah suara Prof. Jamin Ginting menjadi penting.

Prof. Jamin Ginting, pakar hukum pidana, menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana Indonesia, penyidik adalah satu-satunya pihak yang berwenang menentukan pasal yang dikenakan kepada tersangka. Tapi sebelum itu, mereka harus memverifikasi bukti—dalam hal ini, ijazah.

Dan verifikasi itu bukan dilakukan lewat media sosial, bukan lewat analisis visual fotokopi, apalagi lewat “pakar” yang tak pernah menyentuh dokumen asli. Verifikasi dilakukan ke dua sumber utama:

  • Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai penerbit ijazah.
  • Presiden Jokowi sebagai pemegang sah dokumen.

Hasilnya? Ijazah dinyatakan asli. Bahkan telah disita dan diperiksa oleh penyidik Polresta Surakarta dan Bareskrim Polri.

Sementara itu, Roy Suryo dan koleganya menyatakan bahwa ijazah Jokowi “99,999% palsu.” Angka yang terdengar seperti hasil laboratorium, tapi tanpa laboratorium. Seolah-olah kebenaran bisa dihitung dengan kalkulator opini.

Jika hukum bisa ditentukan oleh angka buatan sendiri, maka kita tak butuh penyidik. Cukup polling Twitter dan analisis grafis. Tapi hukum bukan panggung sandiwara. Ia adalah ruang sunyi tempat fakta diuji, bukan dibumbui.

Sebagai advokat, saya ingin menegaskan:

  • Penyidik adalah satu-satunya pihak yang berwenang menentukan pasal pidana, bukan pengamat media sosial.
  • Fotokopi bukan alat bukti utama, kecuali telah diverifikasi dan disandingkan dengan dokumen asli.
  • Verifikasi ke institusi resmi adalah syarat mutlak, bukan opini publik.
  • Pernyataan hiperbolik tanpa dasar hukum bisa menyesatkan dan berpotensi menjadi fitnah.

Dalam hukum, kita tak boleh bermain-main dengan tuduhan. Apalagi jika menyasar kepala negara. Jika benar ada pemalsuan, maka hukum harus ditegakkan. Tapi jika tuduhan hanya bersandar pada fotokopi dan asumsi, maka kita sedang mencederai akal sehat hukum.

Prof. Jamin Ginting telah mengingatkan: hukum berjalan di atas prosedur, bukan prasangka. Dan sebagai masyarakat yang cerdas, kita pun harus belajar membedakan antara kritik yang sah dan sensasi yang salah arah.

Darius Leka, S.H.

 

#ijazahdankewenangan #hukumberdasarkanbukti #penyidikmenentukanpasal #ugmadalahsumberresmi #dokumenaslibukansalinan #edukasihukumpublik #advokatbersuara #menjagamarwahhukum #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar