![]() |
| "Dalam hukum pidana, fotokopi bukanlah alat bukti utama" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Kalau cuma fotokopian yang dianalisa orang-orang ini bermasalah. Saya sarankan umrohlah dulu, biar betobat.”— Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara
Di tengah polemik ijazah Presiden Joko Widodo yang kembali
diangkat oleh Roy Suryo dan koleganya, muncul suara lantang dari pakar hukum
tata negara Margarito Kamis. Bukan dengan dalil pasal, melainkan dengan
sindiran tajam: “Umrohlah dulu, biar betobat.”
Pernyataan ini bukan sekadar kritik akademik. Ia adalah
tamparan retoris yang menggabungkan hukum, moral, dan satire dalam satu
kalimat. Tapi apakah substansinya sekuat nadanya?
Roy Suryo cs mengklaim menemukan kejanggalan dalam ijazah
Jokowi, berdasarkan analisis terhadap salinan dokumen. Mereka membandingkan
dengan ijazah pembanding dari UGM dan menyimpulkan adanya perbedaan format,
tanda tangan, dan elemen visual.
Namun, dalam hukum pidana, fotokopi bukanlah alat bukti
utama. Ia hanya bisa menjadi petunjuk, bukan pembuktian. Untuk membuktikan
pemalsuan, harus ada verifikasi ke institusi penerbit, audit forensik, dan
konfirmasi dari pihak berwenang.
Bareskrim Polri telah menyatakan ijazah Jokowi asli, setelah
melalui pemeriksaan laboratorium forensik. Maka, analisis berbasis fotokopi
tanpa otentikasi resmi bisa dianggap cacat metodologis.
Margarito menyarankan para pengkritik untuk “umroh dulu,
biar betobat.” Sebuah sindiran yang menggambarkan bahwa kritik mereka lebih
bersifat emosional daripada legal.
Namun, apakah satire ini menyelesaikan masalah atau justru
memperkeruh diskursus hukum?
Jika umroh dijadikan solusi atas konflik legal, maka kita
sedang mengganti due process dengan spiritual bypass. Padahal,
hukum tidak mengenal ziarah sebagai klarifikasi. Ia mengenal verifikasi
dokumen, uji forensik, dan prosedur penyidikan.
Sebagai advokat, saya ingin mengajak publik memahami bahwa:
- Fotokopi
bukan bukti hukum yang sah,
kecuali telah diverifikasi oleh lembaga resmi.
- Pemalsuan
dokumen adalah tindak pidana,
tapi tuduhan harus didasarkan pada bukti otentik.
- Sindiran
tidak menggantikan klarifikasi,
dan satire tidak bisa menggantikan prosedur hukum.
Pakar hukum punya tanggung jawab untuk menjernihkan, bukan
memperkeruh. Kritik boleh, tapi harus berbasis hukum, bukan hanya retorika.
Pernyataan Margarito Kamis adalah pengingat bahwa dalam
hukum, substansi lebih penting daripada sensasi. Jika ijazah Jokowi
memang asli, maka polemik ini harus dihentikan. Tapi jika ada keraguan, maka
penyelidikan harus dilakukan secara objektif.
Dan jika kritik hanya berbasis fotokopi, maka kita sedang
membangun opini di atas bayangan. Bukan di atas bukti.
Darius Leka, S.H.
#umrohdulubiarbetobat #fotokopibukandalil
#ijazahbukankitabsuci #gelarbukanjalankesurga #pakarbersyair #roysuryovsfotokopi
#margaritomenohok #jangkarkeadilan
#foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar