![]() |
| “Di negeri yang trauma sejarahnya belum sembuh, kritik bisa jadi kejahatan” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Ribka Tjiptaning, politikus senior PDI Perjuangan, menyuarakan kritik atas pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Bagi Ribka, ini bukan sekadar opini, tapi refleksi sejarah: tentang luka 1998, tentang represi, tentang suara yang dulu dibungkam. Tapi suara itu kini dilaporkan ke Bareskrim Polri.
Organisasi sayap PDIP, Repdem, menyebut pelaporan ini sebagai bentuk
kriminalisasi. Ketua Umum Repdem, Wanto Sugito, menegaskan bahwa “pernyataan
Ribka adalah bagian dari kebebasan berpendapat dalam negara demokratis.”
Tapi di negeri ini, demokrasi kadang hanya berlaku untuk mereka yang setuju.
Yang berbeda, dilabeli “mengganggu stabilitas”.
Pelaporan terhadap Ribka menunjukkan pola lama: suara kritis dibungkam lewat
jalur hukum. UU ITE, pasal karet, dan laporan pidana menjadi alat untuk
menaklukkan opini. Hukum bukan lagi pelindung kebebasan, tapi pagar bagi
kenyamanan politik.
Jika Soeharto bisa jadi pahlawan, maka sejarah adalah panggung absurd. Dan
jika kritik terhadap gelar itu dianggap kriminal, maka demokrasi kita sedang
sakit. Di negeri ini, gelar bisa diberikan, tapi luka tak bisa dihapus.
Ribka Tjiptaning bukan hanya bicara tentang masa lalu, tapi tentang masa depan:
apakah kita masih boleh berbeda pendapat, atau harus diam demi harmoni palsu?
Jika suara kritis terus dibungkam, maka kita bukan lagi bangsa yang merdeka,
tapi bangsa yang takut pada kata-kata.
“Di negeri yang trauma sejarahnya belum sembuh, kritik bisa jadi kejahatan.”
Darius Leka, S.H.
#suaradikriminalisasi
#ribkatjiptaningdiserang #kritikbukankriminal
#pahlawandipertanyakanrakyatdibungkam #pembungkamanbersuara #jangkarkeadilan
#foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar