![]() |
| “Di negeri yang hukum bisa dinegosiasikan, tersangka pun bisa pulang dengan senyum” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Kamis, 13 November 2025. Di Mapolda Metro Jaya, tiga tokoh publik—Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa—diperiksa sebagai tersangka kasus tudingan ijazah palsu Presiden Jokowi. Tapi tak ada borgol, tak ada jeruji. Mereka keluar dari ruang penyidikan seperti tamu yang baru selesai minum teh.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Iman Imanuddin,
menjelaskan: “Mereka tidak ditahan karena mengajukan saksi dan ahli yang
meringankan.” Sebuah alasan yang terdengar sah, tapi terasa janggal.
Bukankah status tersangka seharusnya cukup untuk menahan, apalagi jika
menyangkut isu publik yang sensitif?
Di negeri ini, hukum kadang seperti pesta eksklusif: hanya menahan mereka
yang tak punya koneksi atau pengaruh. Roy Suryo cs bukan orang sembarangan.
Mereka punya panggung, punya pengikut, dan tentu saja—punya narasi. Maka hukum
pun bersikap hati-hati, bahkan sopan.
Jika setiap tersangka bisa pulang hanya karena membawa saksi meringankan,
maka penjara akan kosong dan ruang sidang akan jadi seminar. Hukum bukan lagi soal
keadilan, tapi soal siapa yang bisa menyusun argumen lebih dulu—bukan siapa
yang benar.
Kasus ini bukan hanya soal ijazah, tapi soal keberanian publik menguji
kebenaran. Ketika tersangka bisa pulang tanpa penahanan, publik pun bertanya: Apakah
hukum masih punya nyali, atau hanya jadi alat untuk menenangkan kegaduhan?
“Di negeri yang hukum bisa dinegosiasikan, tersangka pun bisa pulang
dengan senyum.”
Darius Leka, S.H.
#tersangkatanpajeruji #hukumtanpanyali
#ijazahmasihrahasia #roysuryodiperiksajokowidilindungi #keadilanyangtertunda #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar