![]() |
| “Di negeri yang lapar keadilan, dapur pun bisa jadi medan kuasa” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya menjadi wujud kasih negara kepada anak-anak sekolah. Tapi aroma dapur itu kini tercemar oleh dugaan intervensi kekuasaan. DPR, lewat Komisi IX, menyoroti kehadiran Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) bentukan Polri yang gerilya ke sekolah-sekolah dan merebut jatah distribusi dari dapur masyarakat.
Yahya Zaini, Wakil Ketua Komisi IX DPR, menyebut banyak sekolah diminta
pindah ke dapur SPPG milik Polri. Benturan pun terjadi. Masyarakat yang sudah
membangun dapur MBG secara mandiri merasa terpinggirkan. Polisi bukan hanya
menjaga keamanan, tapi kini juga mengatur gizi. Apakah ini bentuk
pelayanan, atau perluasan pengaruh?
Program MBG adalah amanat negara, bukan milik institusi tertentu. Tapi
ketika distribusi gizi dikendalikan oleh aparat berseragam, muncul pertanyaan: Siapa
yang sebenarnya lapar? Anak-anak, atau kekuasaan? Ketika dapur menjadi
arena rebutan, maka gizi bukan lagi soal nutrisi, tapi soal dominasi.
Jika polisi bisa masuk ke dapur sekolah, lalu siapa yang menjaga netralitas
program publik? Apakah sendok pun harus tunduk pada seragam? Di negeri ini,
kadang yang paling kenyang bukan yang paling lapar, tapi yang paling dekat
dengan kekuasaan.
DPR sudah bersuara. Tapi suara itu harus diikuti oleh transparansi dan
audit. Program MBG harus kembali ke tangan publik, bukan menjadi alat ekspansi
institusi. Hukum harus memastikan bahwa gizi anak-anak tidak dikorbankan demi
ambisi struktural.
“Di negeri yang lapar keadilan, dapur pun bisa jadi medan kuasa.”
Darius Leka, S.H.
#gizidirebutseragam
#dapurtanpanetralitas #gerilyadipiringanak #mbgtaklagigratis #giziuntuksiapa #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar