![]() |
| Karena dalam hukum, niat baik tanpa prosedur adalah jalan sunyi menuju kekacauan. |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Di sebuah ruang audiensi di STIK-PTIK, Jakarta Selatan, tanggal 19 November 2025, terjadi drama yang tak tertulis dalam undang-undang, tapi menggema di ruang publik. Refly Harun, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa datang membawa data, niat, dan narasi. Tapi mereka pulang membawa kecewa. Walkout, kata Refly. Karena tiga dari mereka—Roy, Rismon, dan Tifa—berstatus tersangka dalam kasus dugaan fitnah ijazah Presiden Jokowi.
Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Komite Percepatan Reformasi Polri, menolak
pertemuan itu. Alasannya? Institusi negara tak boleh bertemu dengan
tersangka. Hukum bicara, dan pintu ditutup.
Dalam hukum pidana, status “tersangka” bukan vonis. Ia adalah praduga, bukan
putusan. Namun dalam praktik birokrasi, status ini sering menjadi palang pintu.
Padahal, Pasal 8 KUHAP menjamin hak tersangka untuk didengar, berbicara, dan
berpartisipasi dalam ruang publik—selama tidak mengganggu proses hukum.
Pertanyaannya: apakah status tersangka otomatis mencabut hak sipil untuk
berdialog dengan lembaga negara? Tidak. Tapi dalam konteks kelembagaan,
kehati-hatian adalah mata uang utama. Komite Reformasi Polri, sebagai organ
resmi, tentu tak ingin diseret dalam pusaran politik atau dianggap berpihak.
Refly Harun, sebagai pakar hukum tata negara, menyayangkan keputusan itu. Ia
menyebut kasus yang menjerat rekan-rekannya “tak layak diproses”. Ia datang
bukan untuk membela, tapi untuk menyampaikan gagasan reformasi. Namun karena
tiga rekannya ditolak masuk, ia memilih keluar. Sebuah solidaritas yang puitis,
tapi juga politis.
Apakah ini bentuk pembangkangan? Tidak. Ini adalah ekspresi kekecewaan
terhadap prosedur yang dianggap membatasi partisipasi sipil. Tapi di sisi lain,
Prof. Jimly juga tak salah. Ia menjaga marwah institusi agar tak dituduh
berkompromi dengan pihak yang sedang diperiksa hukum.
Kasus ini mengajarkan kita bahwa hukum bukan hanya soal benar atau
salah, tapi juga soal waktu dan tempat. Bahwa dalam demokrasi, niat baik
pun bisa ditolak jika prosedur tak mengizinkan. Bahwa status hukum bisa menjadi
stigma sosial, bahkan sebelum pengadilan bicara.
Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai momen refleksi: bagaimana negara
bisa membuka ruang partisipasi tanpa mengorbankan integritas hukum? Bagaimana
kita bisa membedakan antara tersangka yang bersuara dan suara yang
disangka bersalah?
Jika demokrasi adalah panggung, maka hukum adalah naskahnya. Tapi
aktor-aktor di dalamnya harus tahu kapan bicara, kapan diam, dan kapan mundur.
Refly Harun dan Roy Suryo cs telah mencoba masuk panggung. Tapi kali ini, tirai
belum dibuka.
Dan kita, sebagai penonton, berhak bertanya: apakah panggung ini hanya
untuk yang bersih, atau juga untuk yang sedang dibersihkan?
Transparansi, partisipasi, dan kehati-hatian harus berjalan beriringan.
Negara tak boleh anti-kritik, tapi juga tak boleh sembrono. Karena dalam hukum,
niat baik tanpa prosedur adalah jalan sunyi menuju kekacauan.
Darius Leka, S.H.
#tersangkatakbolehbersuara #hukummenutuppintu
#reformasitanpadialog #audiensiyanggagal #royreflytifaditolaknegara #komitereformasitanpareformis #jimlymenjagapintu #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar