Rabu, 19 November 2025

“Siapa yang Membiayai Para Peneliti Kebenaran?”

Jika Anda bicara atas nama rakyat, maka rakyat berhak tahu: siapa yang membiayai mikrofon Anda?

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — Pertanyaan publik tentang sumber pendanaan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa bukan sekadar rasa ingin tahu—ia adalah panggilan nurani untuk transparansi dalam demokrasi.

Di negeri yang gemar berselimut kabut, tiga nama terus menggema: Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma alias Dokter Tifa. Mereka bukan selebritas, bukan pejabat, tapi suara mereka lebih nyaring dari sirene ambulans di tengah kemacetan. Setiap hari, mereka bicara. Tentang ijazah, tentang kekuasaan, tentang kebenaran. Tapi publik bertanya: siapa yang membiayai mereka?

Mereka menulis buku setebal 700 halaman berjudul Jokowi’s White Paper, berisi kajian digital forensik, telematika, dan neuropolitika. Mereka audiensi ke DPD RI, menyuarakan kebebasan penelitian. Mereka hadir di forum, tampil di media sosial, menyusun data, menyampaikan analisis. Semua ini bukan pekerjaan ringan. Dan tentu bukan pekerjaan gratis.

Dalam hukum, kita mengenal prinsip follow the money. Bukan untuk mencurigai, tapi untuk memahami. Karena dalam demokrasi, transparansi adalah oksigen.

Secara hukum, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat, melakukan penelitian, dan menyebarkan hasilnya. Namun, ketika aktivitas tersebut bersifat publik dan berpengaruh, maka pertanyaan tentang sumber pendanaan menjadi relevan secara etis.

Apakah mereka didanai oleh lembaga swasta? Yayasan? Donatur individu? Atau hasil kerja profesional mereka sendiri? Tidak ada larangan hukum untuk menerima dana, selama tidak berasal dari sumber ilegal atau digunakan untuk tujuan melawan hukum.

Namun, dalam konteks advokasi publik, keterbukaan sumber dana adalah bagian dari integritas. Karena publik berhak tahu apakah suara yang mereka dengar adalah suara nurani atau gema sponsor.

Hingga kini, belum ada pernyataan terbuka dari ketiganya soal siapa yang membiayai aktivitas mereka. Mereka menekankan bahwa kajian mereka berbasis data objektif. Tapi publik bertanya bukan soal isi, melainkan soal logistik: biaya riset, cetak buku, transportasi, waktu kerja.

Dalam dunia advokat, kami tahu betapa mahalnya waktu dan data. Maka wajar jika publik bertanya: siapa yang membayar harga kebenaran ini?

Mungkin mereka adalah Don Quixote zaman digital, menantang angin politik dengan tombak data. Mungkin mereka adalah penyair kebenaran, yang hidup dari idealisme dan sumbangan tak terlihat. Atau mungkin, seperti banyak tokoh dalam sejarah, mereka didukung oleh kekuatan yang tak ingin disebut.

Tapi satu hal pasti: transparansi bukan ancaman, melainkan pelindung. Jika mereka benar-benar berjuang demi publik, maka menjawab pertanyaan publik adalah bagian dari perjuangan itu.

Sebagai advokat, saya tidak menuduh. Saya mengajak. Mari kita dorong budaya akuntabilitas sipil. Karena dalam demokrasi, suara yang paling lantang harus juga paling terang.

Jika Anda bicara atas nama rakyat, maka rakyat berhak tahu: siapa yang membiayai mikrofon Anda?

Darius Leka, S.H.

 

#siapamembiayaikebenaran #danadibaliknarasi #transparansiuntukdemokrasi #hukumbicarabukancuriga #advokatbertanyapublikberhaktahu #kebenaranjugabutuhsponsor #royrismontifadanrahasialogistik #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar