![]() |
| Jika Anda bicara atas nama rakyat, maka rakyat berhak tahu: siapa yang membiayai mikrofon Anda? |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Pertanyaan publik tentang sumber pendanaan Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Dokter Tifa bukan sekadar rasa ingin tahu—ia adalah panggilan nurani untuk transparansi dalam demokrasi.
Di negeri yang gemar berselimut kabut, tiga nama terus menggema: Roy
Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma alias Dokter
Tifa. Mereka bukan selebritas, bukan pejabat, tapi suara mereka lebih
nyaring dari sirene ambulans di tengah kemacetan. Setiap hari, mereka bicara.
Tentang ijazah, tentang kekuasaan, tentang kebenaran. Tapi publik bertanya: siapa
yang membiayai mereka?
Mereka menulis buku setebal 700 halaman berjudul Jokowi’s White Paper,
berisi kajian digital forensik, telematika, dan neuropolitika. Mereka audiensi
ke DPD RI, menyuarakan kebebasan penelitian. Mereka hadir di forum, tampil di
media sosial, menyusun data, menyampaikan analisis. Semua ini bukan pekerjaan
ringan. Dan tentu bukan pekerjaan gratis.
Dalam hukum, kita mengenal prinsip follow the money. Bukan untuk
mencurigai, tapi untuk memahami. Karena dalam demokrasi, transparansi adalah
oksigen.
Secara hukum, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat, melakukan
penelitian, dan menyebarkan hasilnya. Namun, ketika aktivitas tersebut bersifat
publik dan berpengaruh, maka pertanyaan tentang sumber pendanaan
menjadi relevan secara etis.
Apakah mereka didanai oleh lembaga swasta? Yayasan? Donatur individu? Atau
hasil kerja profesional mereka sendiri? Tidak ada larangan hukum untuk menerima
dana, selama tidak berasal dari sumber ilegal atau digunakan untuk tujuan
melawan hukum.
Namun, dalam konteks advokasi publik, keterbukaan sumber dana
adalah bagian dari integritas. Karena publik berhak tahu apakah suara yang
mereka dengar adalah suara nurani atau gema sponsor.
Hingga kini, belum ada pernyataan terbuka dari ketiganya soal siapa yang
membiayai aktivitas mereka. Mereka menekankan bahwa kajian mereka berbasis data
objektif. Tapi publik bertanya bukan soal isi, melainkan soal logistik:
biaya riset, cetak buku, transportasi, waktu kerja.
Dalam dunia advokat, kami tahu betapa mahalnya waktu dan data. Maka wajar
jika publik bertanya: siapa yang membayar harga kebenaran ini?
Mungkin mereka adalah Don Quixote zaman digital, menantang angin
politik dengan tombak data. Mungkin mereka adalah penyair kebenaran,
yang hidup dari idealisme dan sumbangan tak terlihat. Atau mungkin, seperti
banyak tokoh dalam sejarah, mereka didukung oleh kekuatan yang tak ingin
disebut.
Tapi satu hal pasti: transparansi bukan ancaman, melainkan pelindung.
Jika mereka benar-benar berjuang demi publik, maka menjawab pertanyaan publik
adalah bagian dari perjuangan itu.
Sebagai advokat, saya tidak menuduh. Saya mengajak. Mari kita dorong budaya akuntabilitas
sipil. Karena dalam demokrasi, suara yang paling lantang harus juga paling
terang.
Jika Anda bicara atas nama rakyat, maka rakyat berhak tahu: siapa yang
membiayai mikrofon Anda?
Darius Leka, S.H.
#siapamembiayaikebenaran #danadibaliknarasi
#transparansiuntukdemokrasi #hukumbicarabukancuriga #advokatbertanyapublikberhaktahu #kebenaranjugabutuhsponsor #royrismontifadanrahasialogistik #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar