![]() |
| “Jika Tuhan bisa beranak, atau tidak, itu urusan iman. Tapi jika manusia beranak kebencian, itu urusan hukum” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di negeri yang katanya menjunjung toleransi, satu kalimat bisa jadi perkara, satu keyakinan bisa jadi ancaman.”
Kalimat “Tuhan kok beranak???” pernah muncul dalam ruang publik—di spanduk,
di media sosial, di mimbar. Bagi sebagian orang, itu adalah ekspresi keyakinan.
Bagi yang lain, itu adalah penghinaan. Maka hukum pun dipanggil untuk menengahi
antara iman dan ujaran.
Dalam sistem hukum Indonesia, Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal
156a KUHP mengatur larangan terhadap ujaran kebencian berbasis agama dan
penodaan terhadap keyakinan. Tapi di sinilah dilema muncul: apakah pertanyaan
teologis bisa dianggap sebagai kejahatan?
“Jika iman adalah cahaya, maka hukum harus menjadi pelindung lentera, bukan
pemadamnya.”
Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler. Kita mengakui
enam agama resmi, dan menjamin kebebasan beragama dalam Pasal 29 UUD 1945.
Tapi kebebasan itu bukan tanpa batas. Ketika ekspresi keyakinan melukai
keyakinan lain, hukum harus hadir.
Namun, hukum tidak boleh menjadi alat pembungkam. Ia harus menjadi jembatan.
Maka dalam kasus seperti “Tuhan kok beranak???”—hukum harus menilai konteks,
niat, dan dampak. Apakah itu ajakan kebencian, atau sekadar ekspresi teologis?
Dalam beberapa kasus, kalimat serupa digunakan dalam kampanye provokatif,
bukan diskusi akademik. Ada spanduk yang sengaja dipasang di ruang publik untuk
memancing amarah. Ada konten yang sengaja diviralkan untuk memecah belah.
Di sinilah hukum harus tegas. Jika kalimat digunakan untuk menghasut, maka
ia bisa dikenai pasal ujaran kebencian. Tapi jika ia muncul dalam ruang
diskusi, maka ia harus dilindungi sebagai bagian dari kebebasan berpikir.
“Kata bisa menjadi jembatan, tapi juga bisa menjadi jurang. Hukum harus tahu
bedanya.”
Dalam masyarakat plural, hukum harus menjadi penjaga ruang aman. Ia tidak
boleh berpihak pada satu keyakinan, tapi harus melindungi semua. Maka edukasi
publik, dialog antaragama, dan literasi hukum menjadi kunci.
Karena pertanyaan seperti “Tuhan kok beranak???” bukan hanya soal iman, tapi
soal bagaimana kita hidup bersama dalam perbedaan.
“Jika Tuhan bisa beranak, atau tidak, itu urusan iman. Tapi jika manusia
beranak kebencian, itu urusan hukum.”
Hukum harus hadir bukan untuk mengadili keyakinan, tapi untuk menjaga
kedamaian. Karena di negeri yang beragam, satu kata bisa menyulut api, tapi
juga bisa menyalakan cahaya.
Darius Leka, S.H.
#hukumdankeyakinan #toleransidibawahuuite #katayangmenyalakancahaya #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar