Rabu, 12 November 2025

Tempe; Kuliah Hukum dari Seonggok Kedelai Fermentasi

“Tempe adalah warga negara. Ia berhak atas perlindungan”

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Di atas piring sederhana, tempe menyimpan sejarah panjang dan hukum yang belum selesai.”

Tempe bukan pendatang. Ia lahir dari tanah Jawa, tercatat sejak abad ke-16 dalam Serat Centhini, naskah klasik yang memotret kehidupan masyarakat Jawa. Tempe bukan sekadar makanan, tapi teknologi pangan tradisional yang menggabungkan fermentasi, kearifan lokal, dan keberlanjutan.

Kini, tempe diajukan sebagai Warisan Budaya Takbenda ke UNESCO oleh Kementerian Kebudayaan Indonesia. Menteri Fadli Zon menyebut tempe sebagai “superfood asli Indonesia” yang mencerminkan pengetahuan dan budaya bangsa.

“Tempe bukan hanya lauk. Ia adalah identitas yang bisa dimakan.”

Meski tempe telah menjadi ikon kuliner nasional, regulasi hukum pangan sering kali tertinggal. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, tempe disebut sebagai produk olahan, tapi belum mendapat perlindungan khusus sebagai warisan budaya atau produk unggulan.

Akibatnya? Produksi tempe rentan terhadap fluktuasi harga kedelai impor, minimnya subsidi, dan lemahnya perlindungan terhadap produsen rumahan. Padahal, tempe adalah sumber protein utama bagi jutaan rakyat.

“Di negeri yang katanya agraris, tempe justru bergantung pada kapal asing.”

Di pasar tradisional, tempe dijual dalam plastik bening, kadang dibungkus daun. Tapi di balik kesederhanaannya, ada cerita tentang hukum yang belum hadir. Produsen tempe kecil sering kali tidak memiliki izin edar, tidak terdaftar di BPOM, dan tidak mendapat pelatihan sanitasi.

Sementara itu, tempe industri besar masuk ke supermarket dengan label, barcode, dan sertifikasi. Hukum pangan kita masih berpihak pada yang punya modal, bukan pada yang punya tradisi.

“Tempe rumahan dijaga dengan doa. Tempe pabrik dijaga dengan regulasi.”

Jika tempe diakui sebagai warisan budaya, maka ia harus dilindungi secara hukum. Pemerintah harus menetapkan standar produksi, memberikan insentif, dan melindungi produsen lokal dari monopoli pasar. Tempe harus menjadi subjek hukum, bukan sekadar objek konsumsi.

“Tempe adalah warga negara. Ia berhak atas perlindungan.”

Di tengah gempuran makanan instan dan impor, tempe adalah benteng terakhir dari kuliner berdaulat. Jika kita kehilangan tempe, kita kehilangan rasa, sejarah, dan kedaulatan pangan.

Darius Leka, S.H.

 

Sumber:

 

#tempeadalahidentitas #hukumpanganberbasiskedelai #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar