![]() |
| “Tempe adalah warga negara. Ia berhak atas perlindungan” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di atas piring sederhana, tempe menyimpan sejarah panjang dan hukum yang belum selesai.”
Tempe bukan pendatang. Ia lahir dari tanah Jawa, tercatat
sejak abad ke-16 dalam Serat Centhini, naskah klasik yang memotret
kehidupan masyarakat Jawa. Tempe bukan sekadar makanan, tapi teknologi pangan
tradisional yang menggabungkan fermentasi, kearifan lokal, dan keberlanjutan.
Kini, tempe diajukan sebagai Warisan Budaya Takbenda ke
UNESCO oleh Kementerian Kebudayaan Indonesia. Menteri Fadli Zon menyebut tempe
sebagai “superfood asli Indonesia” yang mencerminkan pengetahuan dan budaya
bangsa.
“Tempe bukan hanya lauk. Ia adalah identitas yang bisa
dimakan.”
Meski tempe telah menjadi ikon kuliner nasional, regulasi
hukum pangan sering kali tertinggal. Dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan, tempe disebut sebagai produk olahan, tapi belum mendapat
perlindungan khusus sebagai warisan budaya atau produk unggulan.
Akibatnya? Produksi tempe rentan terhadap fluktuasi harga
kedelai impor, minimnya subsidi, dan lemahnya perlindungan terhadap produsen
rumahan. Padahal, tempe adalah sumber protein utama bagi jutaan rakyat.
“Di negeri yang katanya agraris, tempe justru bergantung
pada kapal asing.”
Di pasar tradisional, tempe dijual dalam plastik bening,
kadang dibungkus daun. Tapi di balik kesederhanaannya, ada cerita tentang hukum
yang belum hadir. Produsen tempe kecil sering kali tidak memiliki izin edar,
tidak terdaftar di BPOM, dan tidak mendapat pelatihan sanitasi.
Sementara itu, tempe industri besar masuk ke supermarket
dengan label, barcode, dan sertifikasi. Hukum pangan kita masih berpihak pada
yang punya modal, bukan pada yang punya tradisi.
“Tempe rumahan dijaga dengan doa. Tempe pabrik dijaga dengan
regulasi.”
Jika tempe diakui sebagai warisan budaya, maka ia harus
dilindungi secara hukum. Pemerintah harus menetapkan standar produksi,
memberikan insentif, dan melindungi produsen lokal dari monopoli pasar. Tempe
harus menjadi subjek hukum, bukan sekadar objek konsumsi.
“Tempe adalah warga negara. Ia berhak atas perlindungan.”
Di tengah gempuran makanan instan dan impor, tempe adalah
benteng terakhir dari kuliner berdaulat. Jika kita kehilangan tempe, kita
kehilangan rasa, sejarah, dan kedaulatan pangan.
Darius Leka, S.H.
Sumber:
- Sejarah Tempe dan Pengajuan ke UNESCO – NewsBorneo
- Jejak Tempe dalam Serat Centhini – MerahPutih
- Tempe Sebagai Warisan Budaya – Kompas
#tempeadalahidentitas #hukumpanganberbasiskedelai
#jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka
#darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar