![]() |
| “Tahu tidak punya paspor, tapi sudah jadi warga negara” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Tahu itu diam. Tapi hukum harus bicara.” Berbeda dengan tempe yang lahir dari tanah Jawa, tahu adalah pendatang dari Tiongkok. Ia tiba di Nusantara lewat jalur perdagangan abad ke-10, lalu diadopsi oleh lidah lokal dan dijadikan lauk harian. Dari warung kaki lima hingga restoran bintang lima, tahu hadir tanpa banyak bicara.
Namun, dalam sistem hukum pangan Indonesia, tahu masih
diperlakukan sebagai produk olahan biasa. UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan menyebut tahu sebagai bagian dari pangan segar dan olahan, tapi
tidak memberi perlindungan khusus terhadap produsen kecil yang menopang pasokan
nasional.
“Tahu tidak punya paspor, tapi sudah jadi warga negara.”
Di balik tahu yang dibungkus plastik atau daun, ada cerita
tentang hukum yang belum hadir. Produsen tahu rumahan sering kali tidak
memiliki izin edar, tidak terdaftar di BPOM, dan tidak mendapat pelatihan
sanitasi. Padahal, mereka adalah tulang punggung konsumsi protein rakyat.
Sementara itu, tahu industri besar masuk ke pasar modern
dengan label, barcode, dan sertifikasi. Hukum pangan kita masih berpihak pada
yang punya modal, bukan pada yang punya tradisi.
“Tahu rumahan dijaga dengan bara api. Tahu pabrik dijaga
dengan regulasi.”
Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan
Nasional baru hadir lima tahun setelah
tenggat waktu yang ditetapkan oleh UU Pangan. Keterlambatan ini menunjukkan
bahwa sistem pengawasan dan perlindungan pangan, termasuk tahu, belum menjadi
prioritas.
Akibatnya? Harga kedelai fluktuatif, produsen tahu mogok
produksi, dan konsumen kehilangan akses terhadap pangan murah dan bergizi.
Hukum belum hadir sebagai pelindung, hanya sebagai pengatur.
Jika tahu diakui sebagai bagian dari warisan kuliner dan
kedaulatan pangan, maka ia harus dilindungi secara hukum. Pemerintah harus
menetapkan standar produksi, memberikan insentif, dan melindungi produsen lokal
dari monopoli pasar. Tahu harus menjadi subjek hukum, bukan sekadar objek
konsumsi.
“Tahu adalah warga negara. Ia berhak atas perlindungan.”
Di tengah gempuran makanan instan dan impor, tahu adalah
benteng terakhir dari kuliner berdaulat. Jika kita kehilangan tahu, kita
kehilangan rasa, sejarah, dan kedaulatan pangan.
Darius Leka, S.H.
Sumber:
- UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan – JDIH DPR RI
- Peraturan Legislasi Pangan dan Codex Alimentarius –
Kemdikbud
- Kedudukan Hukum Perpres Nomor 66 Tahun 2021 –
Repository Pertanian
#tahuadalahidentitas #hukumpanganberbasiskedelai
#jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka
#darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar