Rabu, 12 November 2025

Tanah Adat; Hukum yang Terlupa di Negeri yang Mengaku Beradab

“Tanah adat bukan milik masa lalu. Ia adalah fondasi masa depan yang berakar pada kearifan”

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Di atas tanah ini kami lahir, tumbuh, dan mati. Tapi hukum kadang lupa kami pernah ada.”

Di pedalaman Kalimantan, seorang tetua adat menunjuk hutan yang dulu mereka jaga. Kini, tanah itu telah berubah menjadi perkebunan sawit. “Kami tidak pernah menjualnya,” katanya lirih. Tapi negara menyebutnya “tanah negara”—karena tak ada sertifikat, tak ada bukti.

Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Pengakuan ini ditegaskan pula dalam UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, dan UU Perlindungan Masyarakat Adat.

Namun, pengakuan itu sering kali hanya berhenti di atas kertas. Di lapangan, tanah adat lebih sering dianggap “tanah kosong” yang siap dialihfungsikan.

Proses pengakuan tanah adat mensyaratkan pengakuan formal dari pemerintah daerah, peta wilayah adat, dan bukti penguasaan turun-temurun. Tapi bagaimana mungkin masyarakat adat yang tak mengenal sistem tulis-menulis bisa membuktikan haknya dengan dokumen?

Sementara itu, perusahaan datang dengan peta, izin, dan alat berat. Dalam banyak kasus, konflik agraria pun pecah. Masyarakat adat melawan dengan tombak dan doa, sementara hukum berdiri di sisi yang punya legalitas formal.

“Di negeri ini, yang punya dokumen menang. Yang punya sejarah, hanya bisa menangis.”

Hukum tanah adat adalah hukum yang hidup—living law. Ia tidak tertulis, tapi ditaati. Tidak dicetak, tapi diwariskan. Maka, sistem hukum nasional seharusnya tidak memaksakan satu bentuk tunggal kepemilikan, tapi mengakomodasi keberagaman sistem lokal.

Sayangnya, dalam praktiknya, hukum nasional lebih sering menjadi alat penyeragaman daripada perlindungan. Masyarakat adat dipaksa masuk ke dalam kerangka hukum yang tidak mereka pahami, apalagi sepakati.

Pengakuan tanpa perlindungan adalah ilusi. Maka, negara harus memastikan bahwa pengakuan tanah adat tidak hanya prosedural, tapi juga substansial. Pemerintah daerah harus proaktif memetakan wilayah adat, bukan menunggu konflik meledak.

“Tanah adat bukan milik masa lalu. Ia adalah fondasi masa depan yang berakar pada kearifan.”

Di tengah gempuran investasi dan pembangunan, tanah adat adalah benteng terakhir dari keberagaman hukum dan budaya. Jika kita kehilangan tanah adat, kita kehilangan sebagian dari jiwa bangsa ini.

Darius Leka, S.H.

 

#hukumtanahadat #tanahadatadalahhak #legalitasadat #pengakuantanpaperlindungan #hukumYangmelupakanadat #tanahadatbukantanahkosong #adatdimatahukum #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar