![]() |
| “Sertifikat bukan sekadar kertas. Ia adalah pengakuan negara atas keberadaan warganya” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di negeri agraris, tanah bukan hanya benda. Ia adalah identitas, martabat, dan masa depan.”
Di sudut kota, berdiri rumah tua dengan papan bertuliskan
“Tanah Milik Negara, Dilarang Masuk.” Penghuninya sudah puluhan tahun tinggal
di sana, membayar pajak, membangun keluarga, tapi tetap dianggap menumpang. Di
mata hukum, mereka belum sah.
Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9
Tahun 1999, tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati hak milik, hak
guna, atau hak pakai. Tapi bukan berarti tanah itu tidak bisa dimiliki. Warga
negara bisa mengajukan permohonan hak milik, asalkan memenuhi syarat dan
prosedur.
Untuk mendapatkan hak milik atas tanah negara, pemohon
harus:
- Mengajukan
permohonan tertulis ke Kantor Pertanahan setempat.
- Melampirkan
bukti penguasaan fisik tanah secara nyata dan terus-menerus.
- Menyertakan
identitas, surat pernyataan, dan rekomendasi dari instansi terkait.
- Menunggu
pengukuran, penelitian, dan sidang panitia pertimbangan.
Jika disetujui, barulah sertifikat hak milik diterbitkan.
Tapi proses ini sering kali berliku. Ada yang tersandung birokrasi, ada yang
terganjal konflik kepemilikan, dan ada pula yang terjebak dalam permainan
oknum.
“Tanah itu diam. Tapi di sekelilingnya, banyak yang
berisik.”
Dalam praktiknya, pemberian hak milik atas tanah negara bisa
menjadi ladang permainan. Ada yang mempercepat proses dengan amplop, ada yang
mengklaim tanah garapan sebagai warisan, dan ada pula yang menjual tanah negara
sebelum punya hak.
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa hukum pertanahan
bukan hanya soal legalitas, tapi juga soal integritas. Tanpa pengawasan, tanah
negara bisa berubah menjadi tanah sengketa.
Tanah adalah hak dasar. Maka hukum harus berpihak pada
rakyat yang benar-benar menguasai dan memanfaatkan tanah secara sah. Pemerintah
harus memastikan bahwa prosedur pemberian hak milik tidak menjadi alat
diskriminasi atau komersialisasi.
“Sertifikat bukan sekadar kertas. Ia adalah pengakuan negara
atas keberadaan warganya.”
Di balik setiap permohonan hak milik, ada cerita tentang
perjuangan. Tentang keluarga yang ingin hidup tenang. Tentang petani yang ingin
mengolah ladangnya tanpa takut digusur. Tentang warga yang ingin diakui.
Maka tata cara pemberian hak milik atas tanah negara harus
dijaga dengan transparansi, keadilan, dan keberpihakan. Karena tanah bukan
hanya benda mati. Ia adalah tempat hidup, tempat tumbuh, dan tempat pulang.
Darius Leka, S.H.
#hukumpertanahan #tanahnegaratanahrakyat
#sertifikathakmilik #legalitastanah #tanahadalahhak #hukumuntukpetani #tanahuntukyangberhak
#jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka
#darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar