Rabu, 12 November 2025

Tanah Negara, Tanah Harapan; Kuliah Hukum dari Selembar Sertifikat

“Sertifikat bukan sekadar kertas. Ia adalah pengakuan negara atas keberadaan warganya”

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Di negeri agraris, tanah bukan hanya benda. Ia adalah identitas, martabat, dan masa depan.”

Di sudut kota, berdiri rumah tua dengan papan bertuliskan “Tanah Milik Negara, Dilarang Masuk.” Penghuninya sudah puluhan tahun tinggal di sana, membayar pajak, membangun keluarga, tapi tetap dianggap menumpang. Di mata hukum, mereka belum sah.

Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, tanah negara adalah tanah yang tidak dilekati hak milik, hak guna, atau hak pakai. Tapi bukan berarti tanah itu tidak bisa dimiliki. Warga negara bisa mengajukan permohonan hak milik, asalkan memenuhi syarat dan prosedur.

Untuk mendapatkan hak milik atas tanah negara, pemohon harus:

  • Mengajukan permohonan tertulis ke Kantor Pertanahan setempat.
  • Melampirkan bukti penguasaan fisik tanah secara nyata dan terus-menerus.
  • Menyertakan identitas, surat pernyataan, dan rekomendasi dari instansi terkait.
  • Menunggu pengukuran, penelitian, dan sidang panitia pertimbangan.

Jika disetujui, barulah sertifikat hak milik diterbitkan. Tapi proses ini sering kali berliku. Ada yang tersandung birokrasi, ada yang terganjal konflik kepemilikan, dan ada pula yang terjebak dalam permainan oknum.

“Tanah itu diam. Tapi di sekelilingnya, banyak yang berisik.”

Dalam praktiknya, pemberian hak milik atas tanah negara bisa menjadi ladang permainan. Ada yang mempercepat proses dengan amplop, ada yang mengklaim tanah garapan sebagai warisan, dan ada pula yang menjual tanah negara sebelum punya hak.

Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa hukum pertanahan bukan hanya soal legalitas, tapi juga soal integritas. Tanpa pengawasan, tanah negara bisa berubah menjadi tanah sengketa.

Tanah adalah hak dasar. Maka hukum harus berpihak pada rakyat yang benar-benar menguasai dan memanfaatkan tanah secara sah. Pemerintah harus memastikan bahwa prosedur pemberian hak milik tidak menjadi alat diskriminasi atau komersialisasi.

“Sertifikat bukan sekadar kertas. Ia adalah pengakuan negara atas keberadaan warganya.”

Di balik setiap permohonan hak milik, ada cerita tentang perjuangan. Tentang keluarga yang ingin hidup tenang. Tentang petani yang ingin mengolah ladangnya tanpa takut digusur. Tentang warga yang ingin diakui.

Maka tata cara pemberian hak milik atas tanah negara harus dijaga dengan transparansi, keadilan, dan keberpihakan. Karena tanah bukan hanya benda mati. Ia adalah tempat hidup, tempat tumbuh, dan tempat pulang.

Darius Leka, S.H.

 

#hukumpertanahan #tanahnegaratanahrakyat #sertifikathakmilik #legalitastanah #tanahadalahhak #hukumuntukpetani #tanahuntukyangberhak #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar