![]() |
| “Jika kita tidak bisa mewariskan cinta, setidaknya jangan wariskan kebencian” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Kebencian yang dipelihara adalah bara kecil yang bisa membakar republik.”
Di sebuah negeri yang katanya menjunjung tinggi demokrasi, kebebasan
berbicara menjadi mantra sakral. Tapi di balik layar ponsel dan akun anonim,
kebebasan itu menjelma menjadi peluru. Kata-kata bukan lagi alat komunikasi,
tapi senjata pemusnah karakter.
Sebut saja akun “@KebenaranTanpaSensor”—tiap hari menyebar narasi penuh
caci, fitnah, dan kebencian. Targetnya beragam: tokoh publik, kelompok agama,
etnis minoritas, bahkan korban bencana. Semua dijadikan bahan bakar untuk
membakar emosi publik.
Menurut Pasal 28 ayat (2) UU ITE, penyebaran kebencian berbasis
SARA adalah tindak pidana. Tapi hukum sering kali datang terlambat—seperti
pemadam kebakaran yang baru tiba saat rumah sudah jadi abu.
Laporan demi laporan masuk. Tapi prosesnya lambat. Bukti digital menguap.
Pelaku bersembunyi di balik VPN dan server luar negeri. Dan publik? Sudah terlanjur
terbelah.
“Kebencian itu seperti virus: cepat menyebar, sulit dilacak, dan mematikan
akal sehat.”
Investigasi kami menemukan bahwa kebencian bukan lagi spontanitas. Ia
diproduksi. Dibiayai. Dikelola. Ada tim kreatif di balik meme provokatif. Ada
buzzer yang dibayar per engagement. Ada algoritma yang memihak pada konten
penuh amarah.
Dalam hukum pidana, ini bisa dikategorikan sebagai penghasutan, penyebaran
berita bohong, bahkan konspirasi untuk mengganggu ketertiban umum.
Tapi siapa yang berani menyentuhnya, jika pelakunya punya koneksi ke kekuasaan?
Dalam filsafat hukum, kebebasan berekspresi harus dibatasi oleh tanggung
jawab sosial. Tapi di negeri ini, tanggung jawab sering kali kalah oleh
viralitas. Kita lebih takut kehilangan follower daripada kehilangan nurani.
“Jika lidah bisa membunuh, maka hukum harus menjadi pelindung nyawa.”
Kita hidup di zaman di mana kebencian bisa dikemas dalam 280 karakter,
disukai ribuan orang, dan dibagikan jutaan kali. Tapi kita juga hidup di negara
hukum. Dan hukum tidak boleh diam saat rakyatnya saling membakar.
“Jika kita tidak bisa mewariskan cinta, setidaknya jangan wariskan kebencian.”
Darius Leka, S.H.
#hukummelawankebencian #ujarankebencianadalahkejahatan
#lidahbisamembunuh #kebebasantanpapenghancuran #hukumsebagaiperisai #keadilanuntukkorbankebencian
#stopbbsesilebencian #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum
#advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar