![]() |
| “Jika pungli adalah warisan, maka Saber Pungli harus jadi revolusi” |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Di negeri yang katanya menjunjung hukum, kenapa pungli justru jadi budaya?”
Tanggal 21 Oktober 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres Nomor
87 Tahun 2016. Isinya: pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar—alias
Saber Pungli. Sebuah langkah hukum yang digadang-gadang bisa memberi efek jera
pada oknum ‘nakal’ di balik meja pelayanan publik.
Satgas ini bukan sekadar simbol. Ia punya empat fungsi: intelijen,
pencegahan, penindakan, dan yustisi. Bahkan, Pasal 4 huruf d memberi wewenang
untuk melakukan operasi tangkap tangan. Artinya, hukum mulai turun ke lapangan.
Tidak lagi menunggu laporan, tapi aktif mencari pelanggaran.
“Kalau pungli adalah penyakit, maka Saber Pungli adalah tim medis yang
membawa alat bedah, bukan sekadar stetoskop.”
Saber Pungli menyasar sektor pelayanan publik: pembuatan KTP, SIM, STNK,
SKCK, izin pelabuhan, dan segala bentuk perizinan yang sering jadi ladang
pungli. Dari Aceh hingga Papua, Satgas ini memantau, menyisir, dan menindak.
Tapi pertanyaannya: apakah pungli benar-benar hilang? Atau hanya berganti
bentuk?
Di lapangan, pungli sering dibungkus dengan istilah “uang rokok”, “uang
terima kasih”, atau “biaya percepatan”. Padahal, semua itu tidak tercatat,
tidak transparan, dan tidak sah. Hukum harus berani menyebutnya dengan nama
aslinya: pungutan liar.
“Pungli tidak selalu kasar. Kadang ia datang dengan senyum dan amplop
kecil.”
Saber Pungli adalah bagian dari reformasi hukum. Tapi reformasi tidak cukup
dengan regulasi. Ia harus disertai perubahan budaya. Aparat harus sadar bahwa
pelayanan bukan ladang bisnis. Masyarakat harus tahu bahwa membayar di luar
ketentuan bukan solusi, tapi bagian dari masalah.
Presiden Jokowi sudah memberi sinyal: jangan main-main. Satgas ini dipantau
langsung oleh Presiden. Tapi pengawasan tidak cukup. Harus ada transparansi,
edukasi, dan keberanian untuk menolak pungli—baik dari sisi pemberi maupun
penerima.
“Kalau hukum hanya menindak yang tertangkap, maka pungli akan terus
bersembunyi di balik senyum ramah.”
Efek jera penting. Tapi efek jujur lebih penting. Saber Pungli harus menjadi
gerakan nasional, bukan sekadar operasi. Ia harus masuk ke kurikulum, ke
pelatihan ASN, ke ruang tunggu pelayanan publik.
Karena pungli bukan hanya soal uang. Ia soal mentalitas. Dan mentalitas
tidak bisa diubah dengan tangkap tangan saja. Ia harus diubah dengan pendidikan
hukum yang menyentuh nurani.
“Jika pungli adalah warisan, maka Saber Pungli harus jadi revolusi.”
Perpres Nomor 87 Tahun 2016 adalah langkah maju. Tapi langkah ini harus
terus dijaga. Jangan sampai hukum kalah oleh budaya. Jangan sampai amplop lebih
berkuasa dari pasal.
Karena di negeri hukum, pelayanan publik harus bersih. Bukan bersih karena
takut ditangkap, tapi bersih karena sadar bahwa melayani adalah tugas, bukan
peluang.
Darius Leka, S.H.
#saberpungli #hukummelawanamplop #pelayanantanpapungli #jangkarkeadilan
#foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice
#jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar