Rabu, 12 November 2025

Saber Pungli; Kuliah Hukum dari Uang Kopi yang Tak Pernah Tercatat

“Jika pungli adalah warisan, maka Saber Pungli harus jadi revolusi”

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Di negeri yang katanya menjunjung hukum, kenapa pungli justru jadi budaya?”

Tanggal 21 Oktober 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres Nomor 87 Tahun 2016. Isinya: pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar—alias Saber Pungli. Sebuah langkah hukum yang digadang-gadang bisa memberi efek jera pada oknum ‘nakal’ di balik meja pelayanan publik.

Satgas ini bukan sekadar simbol. Ia punya empat fungsi: intelijen, pencegahan, penindakan, dan yustisi. Bahkan, Pasal 4 huruf d memberi wewenang untuk melakukan operasi tangkap tangan. Artinya, hukum mulai turun ke lapangan. Tidak lagi menunggu laporan, tapi aktif mencari pelanggaran.

“Kalau pungli adalah penyakit, maka Saber Pungli adalah tim medis yang membawa alat bedah, bukan sekadar stetoskop.”

Saber Pungli menyasar sektor pelayanan publik: pembuatan KTP, SIM, STNK, SKCK, izin pelabuhan, dan segala bentuk perizinan yang sering jadi ladang pungli. Dari Aceh hingga Papua, Satgas ini memantau, menyisir, dan menindak.

Tapi pertanyaannya: apakah pungli benar-benar hilang? Atau hanya berganti bentuk?

Di lapangan, pungli sering dibungkus dengan istilah “uang rokok”, “uang terima kasih”, atau “biaya percepatan”. Padahal, semua itu tidak tercatat, tidak transparan, dan tidak sah. Hukum harus berani menyebutnya dengan nama aslinya: pungutan liar.

“Pungli tidak selalu kasar. Kadang ia datang dengan senyum dan amplop kecil.”

Saber Pungli adalah bagian dari reformasi hukum. Tapi reformasi tidak cukup dengan regulasi. Ia harus disertai perubahan budaya. Aparat harus sadar bahwa pelayanan bukan ladang bisnis. Masyarakat harus tahu bahwa membayar di luar ketentuan bukan solusi, tapi bagian dari masalah.

Presiden Jokowi sudah memberi sinyal: jangan main-main. Satgas ini dipantau langsung oleh Presiden. Tapi pengawasan tidak cukup. Harus ada transparansi, edukasi, dan keberanian untuk menolak pungli—baik dari sisi pemberi maupun penerima.

“Kalau hukum hanya menindak yang tertangkap, maka pungli akan terus bersembunyi di balik senyum ramah.”

Efek jera penting. Tapi efek jujur lebih penting. Saber Pungli harus menjadi gerakan nasional, bukan sekadar operasi. Ia harus masuk ke kurikulum, ke pelatihan ASN, ke ruang tunggu pelayanan publik.

Karena pungli bukan hanya soal uang. Ia soal mentalitas. Dan mentalitas tidak bisa diubah dengan tangkap tangan saja. Ia harus diubah dengan pendidikan hukum yang menyentuh nurani.

“Jika pungli adalah warisan, maka Saber Pungli harus jadi revolusi.”

Perpres Nomor 87 Tahun 2016 adalah langkah maju. Tapi langkah ini harus terus dijaga. Jangan sampai hukum kalah oleh budaya. Jangan sampai amplop lebih berkuasa dari pasal.

Karena di negeri hukum, pelayanan publik harus bersih. Bukan bersih karena takut ditangkap, tapi bersih karena sadar bahwa melayani adalah tugas, bukan peluang.

Darius Leka, S.H.

 

#saberpungli #hukummelawanamplop #pelayanantanpapungli #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar