
Antara fitnah dan kebebasan berpendapat
JANGKARKEADILAN,
JAKARTA
— November 2025. Rizal Fadillah, Wakil Ketua
Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), diperiksa selama 13 jam oleh Polda Metro
Jaya terkait dugaan pencemaran nama baik Presiden Jokowi dalam kasus ijazah
palsu. Namun, yang membuat publik terbelalak bukan hanya status hukumnya,
melainkan konsistensinya dalam menyebut
Jokowi sebagai PKI dalam berbagai orasi dan forum publik.
Pertanyaannya: mengapa
ia terus mengulang narasi itu, bahkan setelah jadi tersangka?
Menurut pengamat politik dan hukum, Rizal
Fadillah memosisikan dirinya bukan sekadar sebagai pengkritik, tapi sebagai penjaga narasi sejarah. Ia percaya
bahwa ada rekayasa besar dalam
perjalanan politik Indonesia, dan Jokowi adalah simbol dari apa yang ia anggap
sebagai pengaburan sejarah kelam
komunisme.
Di republik yang katanya demokratis, orasi
bisa lebih tajam dari senjata. Rizal tahu bahwa menyebut “PKI” dalam konteks
politik Indonesia adalah bom retorika.
Ia memanfaatkan itu sebagai alat agitasi,
bukan sekadar ekspresi. Dan ketika aparat menjeratnya dengan pasal pencemaran
nama baik, ia justru menggandakan volume orasinya.
Ironisnya, publik terbelah: sebagian
menganggap Rizal sebagai provokator,
sebagian lain melihatnya sebagai penyambung
suara yang dibungkam. Di tengah itu, hukum berjalan pelan, dibebani
oleh tafsir dan tekanan politik.
Rizal dijerat dengan pasal pencemaran nama
baik dan fitnah. Namun, ia berdalih bahwa orasinya adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan kontrol publik
terhadap kekuasaan. Ia mengacu pada Pasal 310 ayat (3) KUHP yang
menyebut bahwa kritik demi kepentingan umum tidak bisa dipidana.
Tapi menyebut seseorang sebagai “PKI” bukan
kritik biasa. Itu adalah label
ideologis yang historisnya berdarah. Maka pertarungan hukum ini
bukan hanya soal ijazah, tapi soal batas antara
kebebasan dan kebencian.
Rizal Fadillah mungkin tersangka, tapi ia tak
berhenti bicara. Ia tahu bahwa di negeri ini, ingatan
bisa dibungkam, tapi tak bisa dihapus. Maka ia terus mengulang:
“Jokowi PKI,” bukan karena bukti, tapi karena keyakinan
ideologis yang tak bisa dibatalkan oleh pasal.
Dan di tengah semua itu, republik ini kembali
diuji: apakah kita masih bisa membedakan
antara kritik dan kebencian, antara sejarah dan propaganda?
Darius Leka, S.H.
#rizalfadillahtersangka #orasiideologis #ijazahpalsugate #jokowipki #republikingatan #pasalvsnarasi #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum
#advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar