![]() |
| Tapi apakah cukup hanya dengan kartu pers dan ID lanyard untuk menyandang gelar "wartawan profesional"? |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “The press is the best instrument for enlightening the mind of man…”— Thomas Jefferson. Di negeri yang katanya demokratis ini, profesi wartawan kerap dipuja sekaligus dicerca. Ia bisa menjadi pahlawan yang membongkar korupsi, atau justru menjadi corong kekuasaan yang kehilangan suara nurani. Tapi di antara hiruk-pikuk clickbait dan rating, masih adakah wartawan yang belajar?
Bukan belajar menulis judul bombastis. Bukan pula belajar menyisipkan iklan
dalam berita. Tapi belajar menjadi intelektual yang mengabdi di Universitas
Kehidupan—tempat di mana realitas adalah dosen, dan nurani adalah kurikulum.
Dalam hukum pers, wartawan diakui sebagai profesi yang dilindungi. UU Nomor 40
Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi
warga negara. Tapi apakah cukup hanya dengan kartu pers dan ID lanyard untuk
menyandang gelar "wartawan profesional"?
Tidak. Wartawan sejati bukan hanya pencatat peristiwa, tapi penafsir zaman.
Ia bukan sekadar penyampai kabar, tapi penggugah kesadaran. Ia harus terus
belajar, bukan hanya dari buku, tapi dari denyut nadi masyarakat. Ia harus
paham hukum, etika, sejarah, dan sosiologi. Karena berita bukan sekadar
informasi—ia adalah pendidikan publik.
Mari kita tengok kenyataan. Di era digital, banyak media menjelma menjadi
pabrik sensasi. Judul-judul bombastis, narasi tendensius, dan framing yang
menyesatkan menjadi menu utama. Wartawan muda dijejali target traffic, bukan
integritas. Mereka lebih fasih membaca algoritma daripada membaca Undang-Undang
Pers.
Padahal, Pasal 7 UU Pers menegaskan bahwa wartawan wajib menaati Kode Etik
Jurnalistik. Tapi siapa yang mengawasi? Dewan Pers? Atau netizen yang lebih
cepat menghakimi daripada memahami?
Seorang wartawan profesional sejatinya adalah mahasiswa abadi. Ia kuliah di
jalanan, di ruang sidang, di pasar, di lorong-lorong sunyi tempat suara rakyat
terpendam. Ia belajar dari tangis ibu yang anaknya dikriminalisasi, dari tawa
getir petani yang lahannya dirampas, dari diamnya aparat saat hukum
dipermainkan.
Ia menulis bukan untuk viral, tapi untuk menggugah. Ia bertanya bukan untuk
menjebak, tapi untuk mencerahkan. Ia hadir bukan untuk menghakimi, tapi untuk
memahami.
Jika Jefferson benar bahwa pers adalah instrumen pencerahan, maka wartawan
adalah musisi yang memainkan simfoni kebenaran. Tapi simfoni itu tak akan indah
jika dimainkan oleh tangan-tangan yang malas belajar.
Maka belajarlah, wahai wartawan. Belajarlah dari rakyat, dari sejarah, dari
hukum, dari nurani. Jadikan medianu bukan sekadar ruang iklan, tapi mimbar
peradaban. Karena di tanganmu, kata bisa menjadi cahaya—atau cambuk.
Darius Leka, S.H.
#kuliahkehidupan #belajarjadiwartawan
#jurnalisberpikir #wartawanintelektual #perssebagaipencerah #belajartanpawisuda
#jurnalismenurani #penauntukperadaban #jangkarkeadilan #foryou #fyp
#edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar