Rabu, 12 November 2025

Ustadz Bangsa Itu Bernama Jokowi; Kuliah Hukum dari Jalanan Rakyat

Ia tidak memaksa dihormati. Tapi justru karena itulah, ia dihormati

JANGKARKEADILAN,
JAKARTA — “Ia tidak datang dengan tongkat komando, tapi dengan tangan kosong yang menyalami rakyat.”— Catatan dari pinggir jalan sejarah

Tahun-tahun awal Jokowi sebagai Wali Kota Solo menyimpan satu babak penting: penolakan pembongkaran pasar tradisional. Ketika Gubernur Jawa Tengah saat itu, Bibit Waluyo, menyebutnya “goblok” karena menolak modernisasi pasar, Jokowi hanya tersenyum. Ia memilih berdiri di sisi rakyat kecil, bukan di balik etalase investor.

Hasilnya? Ia menang telak di Pilkada Solo periode kedua dengan suara nyaris 93%—rekor tertinggi sepanjang era reformasi. Dari Solo ke Jakarta, dari Jakarta ke Istana, ia melangkah bukan dengan sorak sorai elite, tapi dengan langkah sunyi rakyat yang percaya.

Dalam hukum tata negara, presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus simbol negara. Tapi Jokowi menolak simbolisme kosong. Ia tidak bersandar pada protokoler, tidak larut dalam kemewahan istana. Ia lebih sering berhenti mendadak di pinggir jalan, menyapa rakyat, membuat paspampres repot karena sirine dilarang.

Fitnah datang bertubi-tubi: “ndeso”, “plonga-plongo”, “anak PKI”, “Kristen”, bahkan makian binatang. Tapi hukum tidak mengenal prasangka. Konstitusi tidak mengenal ejekan. Dan Jokowi tidak menggubris. Ia menjawab dengan kerja, bukan kata.

Dalam teori kepemimpinan publik, pemimpin yang “telah selesai dengan dirinya” adalah pemimpin yang tidak mencari pengakuan pribadi. Jokowi adalah contoh hidupnya. Anak-anaknya jualan martabak, istrinya belanja ke pasar belakang istana, kakaknya tidak diterima jadi PNS. Ia pulang ke Solo dengan pesawat ekonomi, tanpa jam tangan, tanpa aksesori.

Ia tidak memaksa dihormati. Tapi justru karena itulah, ia dihormati.

Bangsa ini pernah hampir tenggelam dalam pesta pora korupsi. Hukum menjadi alat dagang, bukan alat keadilan. Tapi Jokowi hadir sebagai ustadz bangsa—bukan dalam arti agama, tapi dalam makna moral. Ia mengajar lewat tindakan, bukan ceramah. Ia membenahi birokrasi, membangun infrastruktur, dan menolak tunduk pada tekanan oligarki.

Rencana menjatuhkannya begitu sistematis. Tapi Tuhan, dan hukum yang masih punya nurani, menjaga bangsa ini dari kehancuran.

Jokowi bukan penunggang kuda dengan topi laken. Ia bukan raja. Ia adalah pelayan rakyat. Dan bangsa ini, jika mau belajar, akan menjadi digdaya bukan karena takut pada Amerika, Cina, atau Rusia—tapi karena berdiri di atas kaki sendiri.

“Kami bangsa Indonesia, ras Asia, yang dipimpin seorang guru bangsa sederhana berjiwa pembela.”— Catatan 2017, tahun kebangkitan kebenaran

Darius Leka, S.H.

 

#ustadzbangsa #jokowigururakyat #kuliahhukumjalanan #presidentanpasirine #pemimpintanpatopeng #jokowidihatirakyat #jokowibukanraja #jokowiadalahkita #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar