![]() |
| Ia tidak memaksa dihormati. Tapi justru karena itulah, ia dihormati |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — “Ia tidak datang dengan tongkat komando, tapi dengan tangan kosong yang menyalami rakyat.”— Catatan dari pinggir jalan sejarah
Tahun-tahun awal Jokowi sebagai Wali Kota Solo menyimpan satu babak penting:
penolakan pembongkaran pasar tradisional. Ketika Gubernur Jawa Tengah
saat itu, Bibit Waluyo, menyebutnya “goblok” karena menolak modernisasi pasar,
Jokowi hanya tersenyum. Ia memilih berdiri di sisi rakyat kecil, bukan di balik
etalase investor.
Hasilnya? Ia menang telak di Pilkada Solo periode kedua dengan suara nyaris
93%—rekor tertinggi sepanjang era reformasi. Dari Solo ke Jakarta, dari Jakarta
ke Istana, ia melangkah bukan dengan sorak sorai elite, tapi dengan langkah
sunyi rakyat yang percaya.
Dalam hukum tata negara, presiden adalah kepala pemerintahan sekaligus
simbol negara. Tapi Jokowi menolak simbolisme kosong. Ia tidak bersandar pada
protokoler, tidak larut dalam kemewahan istana. Ia lebih sering berhenti
mendadak di pinggir jalan, menyapa rakyat, membuat paspampres repot karena
sirine dilarang.
Fitnah datang bertubi-tubi: “ndeso”, “plonga-plongo”, “anak PKI”, “Kristen”,
bahkan makian binatang. Tapi hukum tidak mengenal prasangka. Konstitusi tidak
mengenal ejekan. Dan Jokowi tidak menggubris. Ia menjawab dengan kerja, bukan
kata.
Dalam teori kepemimpinan publik, pemimpin yang “telah selesai dengan
dirinya” adalah pemimpin yang tidak mencari pengakuan pribadi. Jokowi adalah
contoh hidupnya. Anak-anaknya jualan martabak, istrinya belanja ke pasar
belakang istana, kakaknya tidak diterima jadi PNS. Ia pulang ke Solo dengan
pesawat ekonomi, tanpa jam tangan, tanpa aksesori.
Ia tidak memaksa dihormati. Tapi justru karena itulah, ia dihormati.
Bangsa ini pernah hampir tenggelam dalam pesta pora korupsi. Hukum menjadi
alat dagang, bukan alat keadilan. Tapi Jokowi hadir sebagai ustadz bangsa—bukan
dalam arti agama, tapi dalam makna moral. Ia mengajar lewat tindakan, bukan
ceramah. Ia membenahi birokrasi, membangun infrastruktur, dan menolak tunduk
pada tekanan oligarki.
Rencana menjatuhkannya begitu sistematis. Tapi Tuhan, dan hukum yang masih
punya nurani, menjaga bangsa ini dari kehancuran.
Jokowi bukan penunggang kuda dengan topi laken. Ia bukan raja. Ia adalah
pelayan rakyat. Dan bangsa ini, jika mau belajar, akan menjadi digdaya bukan
karena takut pada Amerika, Cina, atau Rusia—tapi karena berdiri di atas kaki
sendiri.
“Kami bangsa Indonesia, ras Asia, yang dipimpin seorang guru bangsa
sederhana berjiwa pembela.”— Catatan 2017, tahun kebangkitan kebenaran
Darius Leka, S.H.
#ustadzbangsa #jokowigururakyat #kuliahhukumjalanan
#presidentanpasirine #pemimpintanpatopeng #jokowidihatirakyat #jokowibukanraja #jokowiadalahkita
#jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat #shdariusleka
#darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar