![]() |
| Sebagai advokat, "saya percaya bahwa hukum harus diuji dengan fakta, bukan dengan framing" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — Roy Suryo, Dokter Tifa, dan Rismon Sianipar sebagai tersangka dalam kasus dugaan fitnah ijazah palsu Presiden Jokowi, mengajukan empat ahli dan dua saksi meringankan. Secara hukum, ini adalah hak pembelaan, bukan manipulasi bukti. Namun, publik berhak mengawasi apakah ini pencarian kebenaran atau pengemasan opini.
Di panggung hukum, setiap pihak berhak bicara. Tapi ketika suara dibungkus
dengan gelar akademik dan saksi yang dipilih, publik perlu bertanya: apakah ini
pencarian kebenaran atau pengemasan narasi?
Kasus dugaan fitnah ijazah palsu Presiden Joko Widodo memasuki babak baru.
Tiga tersangka—Roy Suryo, Tifauziah Tyassuma (Dokter Tifa), dan Rismon
Hasiholan Sianipar—mengajukan empat ahli dan dua saksi meringankan. Polda Metro
Jaya kini memproses pemanggilan mereka.
Sebagai advokat, saya melihat ini sebagai bagian dari hak pembelaan. Tapi
saya juga tahu bahwa dalam praktik, ahli bisa menjadi alat, bukan cermin.
Menghadirkan ahli adalah mekanisme sah dalam hukum acara pidana. Pasal 184
KUHAP menyebutkan bahwa keterangan ahli adalah alat bukti yang sah. Tapi sah
tidak selalu berarti netral. Ahli bisa dipilih karena kompetensinya, atau
karena kesesuaian pendapatnya.
Empat ahli yang diajukan Roy Suryo cs berasal dari berbagai bidang
strategis. Tapi publik belum tahu siapa mereka, apa latar belakangnya, dan
bagaimana metode analisisnya. Tanpa transparansi, ahli bisa menjadi aktor dalam
drama hukum, bukan peneliti dalam ruang objektif.
Saksi meringankan adalah hak setiap tersangka. Tapi dalam kasus yang sarat
opini dan politik, saksi bisa menjadi alat framing. Apalagi jika kesaksiannya
tidak berbasis fakta langsung, melainkan interpretasi atau asumsi.
Di sinilah publik perlu melek hukum. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk
memahami bahwa tidak semua yang disebut “bukti” adalah kebenaran. Kadang ia
hanya narasi yang dibungkus rapi.
Manipulasi bukti secara hukum berarti mengubah, menyembunyikan, atau
menciptakan bukti palsu. Menghadirkan ahli dan saksi bukanlah manipulasi jika
dilakukan secara terbuka dan sesuai prosedur. Tapi jika tujuannya adalah
membentuk opini publik tanpa dasar ilmiah, maka itu bukan pencarian
kebenaran—melainkan pengalihan perhatian.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum harus diuji dengan fakta, bukan
dengan framing. Dan publik harus diberi ruang untuk mengakses informasi, bukan
hanya menyaksikan pertunjukan.
Proses hukum Roy Suryo cs adalah ujian bagi sistem peradilan kita. Apakah ia
akan menjadi ruang klarifikasi atau panggung propaganda? Publik berhak tahu,
berhak bertanya, dan berhak mengawasi.
Karena dalam hukum, kebenaran bukan hanya soal siapa bicara, tapi bagaimana
ia dibuktikan.
Darius Leka, S.H.
#ahliataualibi #saksidalambayangnarasi
#buktiataubungkusopini #roysuryodandramadata #ijazahdalamsidangbayangan #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar