![]() |
| "Bukti lama yang telah dimusnahkan" |
JANGKARKEADILAN, JAKARTA — KPU Surakarta mengakui bahwa arsip pencalonan Joko Widodo, termasuk salinan ijazah, telah dimusnahkan. Namun, Bareskrim Polri menyatakan bahwa penyelidikan dugaan ijazah palsu telah dihentikan karena tidak ditemukan unsur pidana dan prosedur telah dijalankan sesuai aturan.
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi transparansi, kadang jejak masa
lalu justru lenyap lebih cepat dari ingatan publik. Polemik ijazah Presiden
Joko Widodo kembali mengemuka, bukan karena bukti baru, melainkan karena bukti
lama yang telah dimusnahkan. KPU Surakarta, dalam sidang sengketa
informasi di Komisi Informasi Pusat, mengakui bahwa arsip pencalonan Jokowi
saat maju sebagai Wali Kota—termasuk salinan ijazah—telah dimusnahkan sesuai
prosedur retensi.
Sebagai advokat, saya terbiasa menelusuri jejak hukum. Tapi bagaimana jika
jejak itu sudah dihapus? Apakah hukum masih bisa bicara, atau hanya bisa
berbisik di lorong arsip yang kosong?
Menurut KPU, pemusnahan arsip dilakukan sesuai dengan jadwal retensi
dokumen. Secara administratif, ini sah. Tapi secara etis dan publik,
pertanyaannya bukan “boleh atau tidak”, melainkan “mengapa sekarang?” dan “apa
dampaknya terhadap transparansi?”
Dalam konteks sengketa ijazah, hilangnya arsip bukan sekadar kehilangan
kertas. Ia adalah hilangnya kesempatan publik untuk menguji kebenaran. Dan
dalam hukum, kebenaran yang tak bisa diuji adalah kebenaran yang rapuh.
Bareskrim Polri menyatakan bahwa penyelidikan dugaan ijazah palsu Jokowi
telah dihentikan karena tidak ditemukan unsur pidana. Surat pemberitahuan
perkembangan penanganan (SP3D) telah dikirim ke pelapor. Secara hukum, ini sah.
Tapi publik bertanya: apakah penyelidikan cukup dalam? Apakah semua bukti telah
diuji, atau justru sudah dimusnahkan sebelum diuji?
Di sinilah satire hukum menemukan panggungnya: ketika prosedur menjadi
tameng, dan substansi menjadi bayang-bayang.
Sebagai advokat, saya percaya bahwa hukum bukan hanya soal pasal, tapi soal
kepercayaan. Ketika arsip dimusnahkan dan penyelidikan dihentikan, publik
berhak bertanya. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami. Karena dalam
demokrasi, transparansi bukanlah kemewahan, melainkan kewajiban.
Dan jika hukum tak bisa menjawab, maka publik akan mencari jawabannya di
tempat lain—di media sosial, di ruang sidang virtual, bahkan di satire dan
puisi.
Mungkin arsip telah dimusnahkan. Mungkin penyelidikan telah dihentikan. Tapi
pertanyaan publik belum mati. Ia hidup di setiap unggahan, di setiap diskusi,
dan di setiap advokat yang masih percaya bahwa hukum harus bisa diuji, bukan
hanya disahkan.
Darius Leka, S.H.
#jejakyangdimusnahkan #arsiptanpaarah
#ijazahdalamkabut #hilangnyabuktiatauhilangkanbukti #retensiataureduksi #jangkarkeadilan #foryou #fyp #edukasihukum #advokat
#shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar