
"Jika hukum tunduk pada opini, maka siapa pun bisa jadi hakim"
JANGKARKEADILAN, JAKARTA – Rismon Sianipar, ahli forensik
digital yang jadi terlapor dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden Jokowi,
melawan penetapan tersangka lewat praperadilan. Ia bersikukuh: “Ijazah itu
belum pernah diperlihatkan ke publik sampai detik ini.” Sebuah perlawanan
hukum yang dibungkus narasi ilmiah, dibumbui aroma satire, dan disajikan di
panggung politik yang makin panas.
Rismon Hasiholan Sianipar bukan nama asing di dunia digital forensik. Tapi
kali ini, ia bukan memeriksa bukti—ia diperiksa sebagai terlapor. Tuduhannya:
menyebarkan informasi bohong soal ijazah Presiden Jokowi. Tapi Rismon tak
gentar. Ia justru menantang balik lewat praperadilan.
“Saya tidak akan mundur satu inci pun!” katanya lantang. Ia
mengklaim, semua analisisnya berbasis kajian ilmiah. Tapi hukum tak hanya
bicara soal metode—ia bicara soal motif, dampak, dan niat.
Langkah Rismon mengajukan praperadilan bukan sekadar upaya hukum. Ini adalah
panggung. Sebuah cara untuk membalik posisi: dari terlapor menjadi penantang.
Ia mempertanyakan dasar penetapan tersangka, mempertanyakan bukti, dan yang
paling penting—mempertanyakan mengapa ijazah itu tak pernah diperlihatkan ke
publik.
Pertanyaannya menggugah: Jika ijazah itu asli, mengapa tak dibuka saja?
Tapi hukum tak bekerja atas dasar rasa ingin tahu publik. Ia bekerja atas dasar
alat bukti, dan menurut polisi, ijazah itu sudah diperiksa dan dinyatakan sah.
Rismon berdiri di persimpangan antara sains dan opini. Ia menyebut dirinya
ilmuwan, tapi publik melihatnya juga sebagai aktor politik. Ia bicara tentang
transparansi, tapi juga menyebarkan keraguan. Ia menuntut kejelasan, tapi tak
menyodorkan bukti baru.
Dan di tengah itu semua, publik terbelah: antara yang percaya pada proses
hukum, dan yang percaya pada narasi konspirasi. Karena di negeri ini, terkadang
yang tak terlihat justru paling dipercaya.
Praperadilan Rismon bukan hanya soal status tersangka. Ini soal siapa yang
berhak bicara atas nama kebenaran. Dan apakah kebenaran harus selalu
dipertontonkan, atau cukup dibuktikan di ruang penyidikan?
Jika hukum tunduk pada opini, maka siapa pun bisa jadi hakim. Tapi jika
hukum berdiri tegak, maka panggung akan kembali pada mereka yang membawa bukti,
bukan sekadar narasi.
Darius Leka, S.H.
#rismonlawantersangka #praperadilanijazah #ijazahtaktampak #narasivsbukti #hukumbukanspekulasi
#kebenarantakharusviral #roysuryotersangka #fitnahijazahjokowi #peradibersatumelawan
#hukumbukanpanggung #22buktibukannarasi #kebenarantanpadrama #jangkarkeadilan #foryou #fyp
#edukasihukum #advokat #shdariusleka #darkalawoffice #jangkauanluas @semuaorang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar